jpnn.com, JAKARTA - Maraknya perdagangan makanan dan obat ilegal melalui cross-border e-commerce membuat resah masyarakat.
Pemerintah dituntut untuk mengambil tindakan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan praktik tersebut.
BACA JUGA: BPOM Amankan Makanan, Obat dan Kosmetik Ilegal Rp 4,1 Miliar
Praktisi dari Partnership & Strategic Mafindo yang juga merupakan seorang entrepreneur, Dewi Sari mengemukakan kondisi masyarakat saat ini rentan di tengah dampak pandemi Covid-19 dan kemerosotan ekonomi sehingga mudah tergiur dengan pembelian produk makanan dan obat ilegal di e-commerce.
“Saat ini masih banyak masyarakat belum paham apa itu cross border dan ilegal. Tingkat penggunaan e-commerce di Indonesia juga makin meningkat sehingga perlu kerja sama semua pihak karena berpotensi merugikan UMKM jika ilegal,” ucap Dewi dalam Webinar bertajuk Literasi Pencegahan Obat dan Makanan Ilegal Melalui Cross-Border E-Commerce yang diselenggarakan oleh Sobat Cyber Indonesia dan Siberkreasi beberapa waktu lalu.
BACA JUGA: Pabrik Obat Keras Ilegal Terbongkar, Brigjen Krisno: Ini yang Terbesar
Menurut dia, masyarakat sendiri harus mengetahui apa itu cross border? Dengan begitu, mereka dapat memahami makanan dan obat yang diperdagangkan secara ilegal.
“Cross border adalah istilah yang menggambarkan bentuk jual beli internasional secara daring yang melibatkan konsumen dari berbagai negara. Crossborder E-Commerce illegal berdampak pada pelaku UMKM lokal yang akan mengalami kerugian karena produk lintas negara yang harganya jauh lebih murah. Salah satunya karena tidak kena pajak yang seharusnya,” ujar Dewi.
BACA JUGA: Bareskrim Menggerebek Pabrik Obat Keras Ilegal di Yogyakarta
Oleh karena itu, pemerintah melarang beberapa barang untuk diperdagangkan dengan sistem ini dan menyorot juga terkait makanan dan obat ilegal yang potensi berbahaya.
Sejauh ini Mafindo juga sudah berperan dalam mencegah terjadinya praktik demikian di masyarakat. Salah satunya dengan memberikan edukasi kepada masyarakat.
“Kita perlu regulasi yang tegas dan menaungi semua pihak pemerintah dan badan PO serta sosialisasinya. Kami juga telah bekerja sama dengan CSO untuk literasi dan sosialisasi pemahaman atas hal ini baik ke pengusaha, regulator, konsumen dan masyarakat,” ujar Dewi.
Selain itu, kata Dewi, masyarakat perlu mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang. Kemudian pelaku usaha juga harus mematuhi aturan yang berlaku.
“Untuk masyarakat juga harus mempunyai kesadaran untuk membeli produk dari perdagangan legal dan menambah kecakapan digitalnya dengan etika,” pungkasnya.
Sementara itu, Founder Sobat Cyber Indonesia Al Akbar Ramadillah menyebut penetrasi Internet Indonesia mencapai 77,02 persen dari jumlah penduduk.
Data penduduk yang terkoneksi internet pada tahun 2021-2022 sebanyak 210.026.769 jiwa dari total populasi 272.682.600 jiwa.
“Pandemi virus Covid-19 telah mendorong terjadinya perubahan struktural yang sangat cepat menyebabkan tekanan lebih besar untuk memperbaharui keterampilan lokalisasi peluang kewirausahaan, namun di lain sisi juga menimbulkan dampak negative,” ujar Akbar.
Salah satunya praktik perdagangan makanan dan obat illegal melalui e-commerce. Akbar mengimbau kepada semua pihak untuk Bersama-sama mencegah praktik ini.
Pengendalian peredaran makanan dan obat-obatan melalui internet ini bisa menjadi maslah besar bangsa ini.
Sebab, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yang besar jika banyak obat-obatan dan makanan yang ilegal dan tidak tahu bahaya dalam kandungan di dalamnya. Hal ini akan menjadi bahaya untuk generasi penerus bangsa ini.
“Perlunya pencegahan dan antisipasi dampak negatif broadband dan bagaimana mengoptimalkan potensi digital dan mengurangi dampak negatif internet di Indonesia? Itu harus dilakukan terutama oleh pemerintah,” pungkas Akbar.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari