jpnn.com, JAKARTA - Dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Tanjung Balai, Senin (13/8), Jaksa Penuntut Umum menuntut Meiliana (44) dengan penjara 1,5 tahun atas dakwaan melakukan tindak pidana penistaan agama.
Sebagaimana jamak diketahui, Meiliana adalah seorang warga Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Tanjung Balai, yang mengeluhkan bisingnya pengeras suara saat kumandang azan dan meminta takmir untuk mengecilkan volume pengeras suara tersebut. Diprovokasi berita palsu dan ujaran kebencian bernada SARA, ratusan warga melakukan pelemparan dan perusakan atas rumah Meiliana dan pembakaran atas 1 vihara, 5 klenteng, 3 mobil, dan 3 motor.
BACA JUGA: Kerajaan Ubur - ubur jadi Sorotan, Berapa sih Pengikutnya?
Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos dalam keterangan persnya, Kamis (16/8), mengatakan tuntutan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum menegaskan ketundukan aparat hukum pada sentimen mayoritas dan tekanan kelompok intoleran. Secara kuantitatif, tuntutan JPU juga berlebihan kalau disandingkan dengan pidana perusakan, pencurian dan provokasi dalam konteks Kerusuhan Tanjung Balai yang sudah divonis pada Januari 2018. Delapan terpidana dituntut rata-rata empat bulan dan kemudian divonis ringan, antara 1 bulan 11 hari hingga 2 bulan 18 hari dikurangi masa tahanan.
Dalam pengamatan SETARA Institute, menurut Bonar, sedari hulu, proses hukum atas Meiliana berjalan di luar koridor rule of law dan fair trail. Proses hukum penodaan agama dalam perkara ini sejak awal dipicu oleh sentimen SARA atas dirinya. Pasca perusakan Vihara dan klenteng oleh kerumunan massa (mob), dengan desakan ormas dan kelompok-kelompok intoleran, MUI Sumatera Utara mengeluarkan fatwa bahwa Meiliana melakukan penistaan agama. Similar dengan pola kasus Ahok dan sebagian besar kasus penodaan agama, kombinasi tekanan massa, kelompok intoleran, dan fatwa MUI menjadi determinan bagi penetapannya sebagai tersangka oleh kepolisian, dan kemudian ditahan sejak Mei 2018.
BACA JUGA: Bukan Isu SARA di Pilpres 2019 tapi Manipulasi Data
“Selama proses peradilan, persidangan selalu diwarnai tekanan psikologis terhadap hakim, jaksa, terdakwa serta penasehat hukumnya, dengan kehadiran anggota ormas seperti Front Umat Islam (FUI) dan kelompok-kelompok intoleran,” katanya.
Terkait dengan tuntutan JPU dalam kasus tersebut, SETARA Institute mengingatkan kepada Majelis Hakim untuk sepenuhnya meletakkan hukum sebagai instrumen keadilan yang melampaui tuntutan kelompok-kelompok intoleran dan tekanan massa. Hakim harus mencegah menguatnya fenomena supremasi intoleransi dalam kasus-kasus penodaan agama, dimana intoleransi yang diekspresikan dalam tekanan kerumunan massa cenderung supreme atas proses hukum. Pengadilan tidak boleh tunduk pada tekanan kelompok intoleran.
BACA JUGA: Isu Apa yang Bisa Gerus Elektabilitas Jokowi â Maâruf?
Dalam konteks yang lebih makro, menurut Bonar, SETARA Institute menilai bahwa berbagai ketidakadilan dan ketidaktepatan penerapan hukum dalam kasus-kasus penodaan agama di Indonesia mengindikasikan bahwa reformasi hukum penodaan (blasphemy law) harus segera dilakukan. Sebagaimana amanat Mahkamah Konstitusi, revisi atas UU Nomor 1/PNPS/1945 harus segera dilakukan oleh pemerintah dan DPR dengan berorientasi pada pemberantasan ujaran kebencian (hate speech) serta pemidanaan hasutan (incitement) dan pidana kebencian (hate crime).
Menurutnya, hiruk pikuk Pemilu dan Pilpres seharusnya tidak mengalihkan perhatian aparat penegak hukum dan pemangku otoritas legislasi normal atas praktik panjang ketidakadilan dalam kasus-kasus penodaan agama. Elastisitas dan absurditas konstruksi hukum penodaan agama dan ketidakadilan penerapannya telah mengirim secara tidak adil begitu banyak kelompok minoritas keagamaan ke balik jeruji besi sebagai tahanan nurani (prisoners of conscience).
“Dalam perspektif negara hukum dan keadilan, penegakan hukum dalam 116 kasus penodaan agama yang dicatat SETARA Institute hingga akhir 2017 hampir seluruhnya bermasalah,” katanya.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PB PMII Ingatkan Jangan Terjebak Wacana Ganti Presiden
Redaktur & Reporter : Friederich