jpnn.com - jpnn.com - Sudah menjadi rahasia umum, prostitusi berkedok panti pijat ada di banyak daerah di Indonesia. Salah satunya di Pontianak, Kalbar.
---
Sebuah rumah di Komplek Alex Griya III, Jalan Parit Haji Husin (Paris) II, Pontianak Tenggara, terlihat tak jauh berbeda dengan deretan rumah lainnya di sana.
Berpagar warna cokelat, pelang besar bertuliskan "Kebugaran Berseri", melayani pijat tradisional untuk pria dan wanita, terpampang di halaman rumah itu.
BACA JUGA: KAMMI Tantang Debat Terbuka Bahas Kuntilanak
Rakyat Kalbar (Jawa Pos Group) memasuki rumah berlantai dua tersebut Minggu (29/1) siang.
Di ruang tamunya, wartawan Rakyat Kalbar bertemu seorang perempuan yang kira-kira berusia mendekati 30 tahun.
BACA JUGA: Ribut Kuntilanak, Wako: Siape Tau Kayak Shopia Latjuba
”Pijat kah Mas?” tanya pemilik rambut sepinggang itu. Sebut saja dia Karin.
Ada perempuan lain yang duduk dan berbaring di bawah anak tangga. Tak jauh dari ruang tamu seluas lebih kurang tiga meter itu.
BACA JUGA: Hi hi hi...Muncul Gerakan Tolak Kuntilanak
Diduga dia salah satu pemijat atau jamak disebut terapis.
Karin menyingkap taplak meja berwarna biru di meja kaca berukuran sekitar 1 meter x 50 centimeter yang berada di ruang tamu.
Terpampanglah foto-foto perempuan yang bekerja di sana. Kata dia, mereka itu terapis pijat.
"Silakan pilih, mau yang mana, semuanya ada. Per jam 110 ribu," tuturnya, nada suaranya sedikit menggoda.
Sebelumnya, Rakyat Kalbar (RK) mendapat informasi kalau kebugaran di lingkungan padat penduduk ini melayani lebih dari sekadar pijat alias pijat plus.
Lantas, benar tidaknya kabar itu ditanyakan kepada Karin.
”Lebih dari pijet ada, langsung aja di dalam kamar," jawab dia, blak-blakan.
"Hanya 110 ribu plus tips mijet saja, murah. Kalau lebih dari pijet, tambah lagi ke terapisnya," selorohnya, tertawa lebar.
Apakah ada yang muda atau cabe-cabean? Karin menggelengkan kepalanya.
”Kalau pijat di sini, yang ada hanya ini saja," urainya sambil menunjuk foto-foto perempuan yang dipajang di meja ruang tamu itu. Sambung Karin, "Ya udah, pilih aja mas. Nanti saya panggilkan".
Setelah menunjuk satu foto terapis, ia mengantar wartawan RK masuk ke salah satu kamar yang tak jauh dari ruang tamu. "Yuk, silakan mas, masuk," ucap Karin.
Tak jauh dari meja kaca, terpampang kertas yang terbingkai. Terbaca di situ Surat Izin Kepolisian dan Izin Gangguan dari Pemerintah Kota Pontianak.
Di dalam kamar, tersedia dua tempat tidur berukuran 2 meter x 70 centimeter. Selain itu, ada tirai berwarna kuning.
"Yuk buka bajunya. Kita pijat," ajak Erni, terapis yang dipesan.
Wartawan RK sebut saja Don Juan, diarahkan berbaring di salah satu tempat tidur.
Erni langsung memijat kaki dan badan. Sambil dipijat, wartawan melempar sejumlah pertanyaan. Tanpa canggung ia menjawab.
"Di sini yang tukang pijat ahli ya mbak? Atau sebelumnya ada belajar memijat dan terapi?" tanya Don Juan.
"Ya enggaklah. Tidak ada yang pandai pijat. Tidak pernah sama sekali belajar," aku Erni.
Setelah hampir 40 menit, pijat kaki, badan, dan tangan, selesai.
"Yang mana lagi mau dipijit? Depannya mau gak?" ujar Erni. Perempuan berusia 40-an tahun ini lantas menawarkan sejumlah paket. Plus-plus.
"Main 500 ribu," tuturnya. Don Juan mengelak dengan alasan kemahalan. Lantas Erni menawari layanan model lain, dengan dua pilihan, Rp250 ribu dan Rp300 ribu.
Mengingat penelusuran prostitusi di balik tirai panti pijat tradisional ini masih sedikit, Don Juan pun berupaya mengulur waktu. Beruntung, Erni tak curiga. Dia mau melanjutkan kisahnya.
Erni tak terima upah dari pemilik panti pijat. Biaya Rp 110 ribu itu murni masuk kas perusahaan alias kantong bos.
"Tamu bayar Rp200 ribu, saya dapat Rp90 ribu. Kalau bayar Rp150, saya dapat Rp40 ribu," bebernya.
Ia mengisyaratkan, kerja sebagai terapis bukan mencari upah. Tapi mencari keuntungan dengan menawarkan jasa plus-plus.
"Kalau diupah, biaya hidup tidak cukup," jelas ibu dua anak ini.
Perempuan asal Purwokerto, Jawa Tengah, itu mengaku hampir tiga tahun bekerja sebagai terapis. Sebelumnya, ia bekerja di Jakarta sebagai tukang cuci piring di sebuah rumah makan kawasan Grogol, Jakarta Barat.
"Gajinya cuma Rp 900 ribu," ucap Erni.
Ia mulai bekerja di rumah makan sejak 2011-2015. Medio 2015, Erni ditawari salah satu teman sekampungnya yang bekerja sebagai terapis di Pontianak.
"Tapi sekarang teman sudah pulang, karena menikah," ungkapnya.
Karena diiming-imingi penghasilan besar, Erni pun tergiur. "Datang waktu itu biayanya ditanggung sama bos. Saya diberi uang tiket," bebernya.
Namun, dia tak menjelaskan apakah tiket diberi cuma-cuma atau sebaliknya.
Meski sekali bekerja mendapat penghasilan besar, jasa plus-plus Erni dan koleganya tak setiap hari didatangi pelanggan.
"Tidak bisa dipastikan ramainya hari apa. Kadang ramai, kadang sepi. Kalau lagi ramai, satu orang bisa pijat dua sampai tiga tamu," terangnya.
Usai investigasi di Kebugaran Berseri, Rakyat Kalbar mendatangi rumah Ketua RT setempat.
Dua sekuriti berbeda yang ditanya menyebutkan bahwa Ketua RT tinggal tak sampai sepuluh rumah dari kebugaran tersebut.
Setelah beberapa menit dipanggil dan pagar rumahnya diketuk, akhirnya penghuni rumah berlantai dua itu nongol.
Tanpa membukakan pagar, dari teras rumahnya, seorang pria paruh baya berkata dengan lantang.
"Ada perlu apa cari saya," tanya dia.
Pria yang enggan menyebutkan namanya ini tak mau berkomentar terkait keberadaan kebugaran di wilayahnya.
"Kenapa memangnya? Kenapa nanya saya? Tanyalah warga di sana," celetuknya ketika ditanya soal prostitusi berkedok pijat tradisional di Kebugaran Berseri. (Ach/Ocs/Des)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rapat Guru Sejarah: Kuntilanak Hanya Terdengar Suaranya
Redaktur & Reporter : Soetomo