Pengakuan si Bocah Penjambret, Terbayang saat Dikepung Massa

Senin, 13 November 2017 – 06:00 WIB
Rud (kanan) hanya bisa menunduk. Kini dia dititipkan di PSMP Paramita selama proses hukumnya berjalan. Foto: DIDIT/LOMBOK POST/JPNN.com

jpnn.com - Bocah anak baru gedhe (ABG) inisial Rud, 14, tertangkap warga usai menjambret di Jalan Udayana, Kota Mataram, awal November ini.
---
Umur Rud memang baru menginjak 14 tahun. Wajahnya pun masih menyisakan gurat kanak-kanak.

Ketika ditemui Lombok Post (Jawa Pos Group) di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Paramita di Labuapi, Lombok Barat (Lobar), Rud beberapa kali tersenyum kecil, saat menceritakan kisahnya.

BACA JUGA: Anak Petani Lulus jadi Taruna AAL Hanya Modal Rp 10 Ribu

Dari sikap lugunya itu, tak akan ada yang menyangka jika Rud tengah berhadapan dengan hukum. Selama ini dia menjadi penjahat jalanan. Ya, dia ditangkap warga karena telah melakukan pencurian handphone di Jalan Udayana.

”Lupa saya sudah berapa kali. Banyak. Mungkin lebih dari 10 kali,” kata Rud dengan pelan.

BACA JUGA: Berhadapan dengan Hewan Buas, Menjebak Muncikari Malaysia

Jumlah tersebut merupakan perkiraan ia melakukan penjambretan di Kota Mataram. Menurut keterangannya ketika diinterogasi di Polsek Mataram, Rud mengaku jika sudah 11 kali menjambret.

Mengenai jumlah pastinya, Rud mengaku sudah tidak ingat dengan persis angka kejahatannya. Namun yang jelas, catatan kriminalnya cukup banyak untuk anak seusianya.

BACA JUGA: Derita Sopir Taksi Konvensional Ini Bikin Sedih Banget

Sebelum rentetan aksi kriminalnya dimulai, Rud sebenarnya menolak untuk menjambret.

Salah seorang teman mainnya, dengan inisial AA, sempat mengajak ia untuk menjambret di Jalan Lingkar Selatan, Kota Mataram. Ajakan tersebut tentu saja ia tolak mentah-mentah.

”Saya sampai berkelahi sama anak itu. Dia yang pertama kali ajak jambret, tapi saya gak mau. Akhirnya saya turunin dia di jalan,” beber Rud.

Ajakan kedua datang lagi. Kali ini melalui kakak kelasnya dengan inisial DI. Jika ajakan AA bisa ia lawan dan tolak, tidak dengan DI.

”Teman yang satu itu kan kecil anaknya, jadi bisa saya lawan. Kalau DI itu besar,” ujarnya.

Berawal dari ajakan DI itu, aksi jambret kedua remaja ini dimulai. Kejahatan pertamanya dilakukan di Jalan Lingkar Selatan, Kota Mataram. Saat itu, mereka berdua berhasil mengambil handphone pengendara perempuan.

Kejahatan yang sukses, rupanya membuat keduanya ketagihan. Setelah aksi pertama, menyusul dengan beberapa kejahatan lanjutan. Hingga akhirnya Rud kena batunya awal November ini.

Aksi terakhirnya dilakukan di Jalan Udayana, Kelurahan Dasan Agung, pada Rabu (1/11) lalu. Tepat di depan Hotel Grand Madani, kedua ABG ini menjambret handhone milik Lina yang ditaruh di kantong motor.

Korban yang melaju dari arah selatan, dibuntuti kedua pelaku. Setelah berhasil memepet dari sebelah kiri, Rud langsung merampas handphone milik korban. Mereka berdua lantas kabur dengan mempercepat laju kendaraannya.

Lina tak menyerah. Dia mengejar korban dengan tujuan memperoleh kembali handphonenya.

Beruntung, saat tiba di simpang empat di depan Bandara Selaparang, motor pelaku mogok. Hal itu dimanfaatkan korban dengan berteriak jambret kepada kedua pelaku.

Karena mogok, mereka memilih jalan kabur melalui persawahan di belakang Swalayan Mario. Namun, masyarakat lebih cepat. Satu pelaku berhasil diamankan, yakni Rud, sementara DI berhasil kabur.

Kata Rud, setiap menjambret, dirinya selalu bertukar peran dengan DI. Sesekali ia sebagai eksekutor dan DI sebagai jokinya.

Sasaran mereka, wanita berumur hingga remaja perempuan yang menaruh handphonenya di kantong motor. ”Nyarinya selalu yang perempuan,” ujarnya.

Setelah handphone berhasil dirampas, Rud biasanya tinggal menunggu hasil dari DI. Teman jahatnya itulah yang kemudian menjual atau menggadai barang curian itu. Selanjutnya, hasilnya dibagi dengan Rud.

”Dia selalu yang bawa handphonenya. Gak tahu dijual atau gimana. Setelah itu biasanya saya dikasih uang sama dia,” ungkap Rud.

Uang yang diberikan DI, menurut Rud, tidak menentu jumlahnya. Dia pernah sekali waktu diberi uang sebanyak Rp 250 ribu.

Jumlah itu menjadi yang terbanyak ia terima. ”Kalau yang paling sedikit itu dikasih Rp 150 ribu,” terangnya.

Dari uang tersebut, Rud mengaku menggunakannya untuk makan dan minum sehari-hari. Dorongan ekonomi itu pula yang membuat ia berani untuk menjambret.

Selama beberapa tahun terakhir ini, kedua orang tuanya jarang memberi uang jajan kepadanya. Dia juga tidak lagi merasakan kasih sayang dari orang tuanya. ”Sudah cerai saat saya masih kecil,” kata Rud sembari menunduk.

Efek dari semua itu, membuat Rud lepas kontrol. Dia bahkan sudah malas untuk sekolah.

Rud, 14 tahun, yang seharusnya duduk di kelas III SMP, terpaksa putus sekolah. Dia memilih untuk keluar dari sekolah ketika kelas II SMP.

”Tapi sekarang kapok sudah. Gak mau lagi saya (jambret),” ujarnya.

Menurut Rud, dia masih terbayang-bayang ketika ia dikepung massa saat aksi terakhirnya. Nyawanya bisa saja hilang saat itu.

Apalagi dia sempat melihat salah satu warga membawa parang. Hal tersebut membuat nyalinya ciut.

”Takut saya pas dikepung orang itu. Akhirnya saya pilih untuk menyerahkan diri ke pos polisi di Udayana,” kata Rud.

Fenomena anak sebagai pelaku kriminal, menurut Ketua Divisi Advokasi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB Joko Jumadi, akibat gaya hidup.

Bagi sebagian orang, membeli makan atau sekadar sebungkus rokok tentu tidak memberatkan. Tetapi tidak bagi anak dengan kondisi perekonomian orang tuanya yang tidak mampu.

”Mereka mau mengimbangi, tapi orang tua tidak mampu. Akhirnya ambil jalan pintas,” kata Joko.

Dari sejumlah advokasi LPA, rata-rata hasil kejahatan anak dipakai untuk membeli makan, rokok, hingga minum-minuman beralkohol. Beberapa diantaranya ada juga yang digunakan untuk membeli narkoba.

”Ada yang beli narkoba, tapi jumlahnya tidak besar,” bebernya.

Apakah hukuman yang diberikan tidak memberi efek jera, sehingga anak kadangkala kembali berbuat tindak pidana? Joko mengatakan, proses hukum yang dilakukan sudah maksimal. Namun perlu ada peningkatan dalam hal rehabilitasi.

Selama ini, lanjut dia, proses rehabilitasi hanya menyasar anak sebagai pelaku kriminal. Tetapi intervensi terhadap orang tua dan lingkungan justru lalai dilakukan pemerintah.

”Kita tidak merehabilitasi orang tua dan lingkungannya,” jelas dia.

Akibat tidak ada intervensi terhadap orang tua dan lingkungan, anak yang kembali dari proses hukuman, bisa kembali mengulangi perbuatannya.

”Harus ada keterlibatan instansi pemerintah. Karena orang tua dan lingkungan sangat mempengaruhi anak setelah menjalani hukuman,” tandas Joko.(wahidi akbar sirinawa/r2)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pertempuran 10 November, Bung Tomo Mundur ke Mojokerto


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler