jpnn.com - Pasukan elite seperti Kopassus tidak hanya cepat bertindak dalam situasi genting mempertahankan wilayah Indonesia. Kopassus juga piawai sebagai motor penggerak Tim Ekspedisi NKRI untuk menjelajah Indonesia Timur. Hasilnya, tim tersebut bisa menemukan potensi wisata baru, fosil kerang raksasa hingga yang diduga merupakan flora dan fauna baru.
Laporan Ilham Dwi Wancoko, Jakarta
BACA JUGA: Mayo Romandho, Pencinta Musik Penggagas Record Store Day di Indonesia
SEKELOMPOK orang berbaju loreng hijau ala tentara mengerubungi gundukan tanah di Pulau Buaya, Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), awal Maret lalu. Tidak berapa lama tampak sesuatu di dalam tanah yang tidak begitu dalam. Ada sebuah benda yang bentuknya tidak wajar tertimbun tanah. Begitu orang-orang itu menggali lebih dalam, ternyata tampak bentuk seperti kerang atau kima.
Benda yang seperti kerang tersebut dipastikan sebuah fosil. Tapi bukan fosil kerang biasa. Ukuran fosil kerang itu ekstrabesar. Panjangnya sekitar 100 cm dan dengan lebar 30 cm. Yang lebih mengherankan, fosil kerang tersebut ditemukan di daerah yang ketinggiannya 300 meter dari permukaan laut (mdpl).
BACA JUGA: Markoem, Si Perajin Biola Handmade
Lokasinya yang begitu tinggi dari permukaan laut memunculkan asumsi tidak mungkin manusia memindahkan fosil kerang tersebut ke daratan. Itulah yang sedang ditelusuri Tim Flora-Fauna Ekspedisi NKRI Koridor Bali-NTT. ”Usia fosil kerang itu sedang diperiksa, bisa jadi ribuan tahun atau malah ratusan ribu tahun,” ujar Kabagops Tim Ekspedisi NKRI Letkol Infanteri Yuri Elias Mamahi.
Bukan hanya satu fosil kerang yang ditemukan di Pulau Buaya tersebut. Ada pula beberapa fosil dengan berbagai jenis yang ukurannya juga di luar kewajaran. Misalnya Tubipora, Acropora, dan Favites. ”Pertanyaan yang muncul, mengapa bisa ada fosil kerang di daerah pegunungan seperti itu?” ucapnya.
BACA JUGA: Tentang sebuah Pondok Pesantren yang Serius Kembangkan Kerajinan Batu Akik
Untuk menelisiknya, tim tersebut mendatangkan anggota Tim Ahli Flora-Fauna Ekspedisi NKRI Donan Satria Yudha. Dia pengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta. Dengan begitu, kondisi geografis Pulau Buaya dipelajari untuk menguak misteri adanya fosil kerang di daerah yang tinggi. ”Tim ini tidak bekerja sendirian. Kami juga mengajak para akademisi,” katanya.
Pada dari pertama, observasi mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Di dekat Pulau Buaya itu diketahui ada Pulau Pura. Di pulau tersebut ternyata terdapat Gunung Api Maru yang tidak aktif. Di gunung itu pula ditemukan lagi fosil kerang. ”Ketinggiannya 140 mdpl,” ujar Yuri.
Dengan temuan tersebut, dapat diprediksi, Pulau Buaya dan Pulau Pura merupakan dasar laut yang terangkat ribuan tahun lalu. Sehingga banyak makhluk dasar laut yang ikut terbawa dan menjadi fosil. ”Tapi, ini masih harus diteliti terlebih dahulu. Kalau sudah ada hasil penelitian, baru bisa dipastikan. Termasuk fosil kerang tersebut,” papar Yuri saat ditemui di Mako Kopassus.
Tapi, Kopassus dan para ahli tidak berhenti di situ. Tim Ekspedisi NKRI merancang pertemuan dengan Bupati Alor Amon Djobo. Bukan hanya untuk melaporkan adanya temuan fosil kerang raksasa, lebih dari itu, ada gagasan yang muncul dari para pembela NKRI. Yakni membuat konservasi fosil kerang dan objek pariwisata. Pertemuan itu berlangsung lancar.
”Ya, kami tidak sekadar meneliti, tapi juga menggali potensi wisatanya. Dengan begitu, daerah juga bisa terbantu mengetahui setiap potensi yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.
Anggota Tim Ekspedisi NKRI berjumlah 1.227 orang yang terdiri atas Kopassus TNI-AD, Polri, akademisi, dan mahasiswa. Mereka menyebar di sejumlah subkorwil, di antaranya Karangasem, Lombok Timur, Sumbawa, Bima, Sumba Barat Daya, Ende, dan Belu. ”Tim dibagi untuk bisa menjelajah dan mengetahui potensi setiap daerah,” ujarnya.
Masih di Alor yang masuk subkorwil NTT, sejumlah anggota tim mencoba mendeteksi kemungkinan potensi lain. Mereka bekerja sama dengan warga sekitar untuk mengetahui kemungkinan adanya sesuatu yang baru. ”Akhirnya ada yang bersama nelayan mencoba berlayar mencari ikan di sekitar Alor,” ucapnya.
Tak disangka-sangka, nelayan dan anggota Tim Ekspedisi NKRI yang menjaring ikan mendapatkan sesuatu. Mungkin ikan atau sejenisnya, namun yang pasti cukup besar. Tangkapan yang saking besarnya membuat nelayan dan anggota tim kesulitan untuk mengangkatnya. Setelah bersusah payah, ternyata sebuah lobster berukuran 1 meter diangkat. ”Lobster besar ini cukup menarik untuk diketahui jenisnya,” kata dia.
Setelah itu lobster tersebut difoto dan dijadikan contoh untuk dikirim ke laboratorium. Hasilnya, lobster itu merupakan jenis lobster mutiara. ”Lobster ini tentu menjadi salah satu temuan yang didata dan bisa dijadikan potensi untuk daerah,” ujarnya.
Selain fosil kerang dan lobster mutiara, tim ekspedisi menemukan berbagai flora dan fauna yang masih dicatat untuk dipastikan apakah merupakan jenis baru atau tidak. Antara lain bintang laut yang jenisnya belum diketahui di Sumbawa, bintang laut biru di Sumbawa, dan rajungan atau kepiting di Alor.
Yang lain adalah penemuan sejenis sukun dengan varian genetis baru di Bima. Peneliti LIPI yang juga anggota Tim Ekspedisi NKRI Inggit Puji Astuti mengungkapkan, ada satu temuan yang juga menarik, yakni buah sukun. Sukun itu berbeda dengan biasanya yang bulat. Sukun tersebut lonjong dan cukup besar. ”Saya ahli tumbuhan, sejak awal memprediksi ini baru,” ucapnya.
Awalnya Inggit melihat di dekat pos tim ekspedisi ada pohon sukun yang berbeda. Setelah diperiksa, pohon sukun itu memang secara genetis memiliki perbedaan dari sukun yang lainnya. Ternyata, di Bima sukun seperti itu sudah biasa. Namun, belum ada yang sadar bahwa itu berbeda. ”Penemuan ini untuk ilmu pengetahuan sangat berharga,” tegasnya.
Bila diteliti lebih lanjut, bisa diketahui bagaimana kandungan sukun tersebut. Apakah ternyata tahan hama atau justru protein dan vitamin lainnya lebih tinggi. ”Tentu bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tutur dia.
Bukan hanya itu, Tim Ekspedisi NKRI juga menemukan daerah yang memiliki kandungan mineral berharga. Yuri menambahkan, di sebuah daerah yang tidak bisa disebutkan, tim itu menemukan kandungan mineral. ”Setelah dicek sampelnya, dipastikan jumlahnya cukup banyak,” katanya.
Temuan tersebut kemudian dilaporkan ke pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal itu tentu bisa digunakan untuk masyarakat. ”Kandungan mineral apa saya tidak bisa sebut. Itu nanti bisa membuat hal yang tidak diinginkan terjadi,” ujarnya.
Yuri menjelaskan, sebenarnya begitu banyak potensi wisata yang belum tergali di Indonesia Timur. Salah satunya adanya pantai pasir putih dengan gua di pantainya. ”Daerahnya saya lupa. Tapi, temuan pantai tanpa nama ini bisa menjadi objek wisata yang sangat menarik. Bahkan, kalau dibandingkan dengan Bali, keindahannya setara,” paparnya.
Ekspedisi NKRI tersebut tidak hanya menemukan potensi daerah, tapi juga berupaya memberikan potensi. Contohnya penanaman pohon kelor seluas 65 hektare di perbatasan Indonesia dengan Timor Leste. ”Pohon kelor itu sebenarnya bermanfaat untuk berbagai hal, misalnya penyakit jantung, lalu bisa untuk parfum, sabun, dan kosmetik,” terangnya.
Penanaman tersebut merupakan gagasan Danjen Kopassus Mayjen Doni Monardo selaku pemimpin ekspedisi NKRI 2015. Yuri menjelaskan, penanaman pohon kelor itu ke depan bisa jadi membuat masyarakat memiliki potensi ekonomi baru. ”Sebab, harga serbuk daun kelor tersebut sangat mahal. Bahkan, setelah dicek di laboratorium, daun kelor di daerah perbatasan itu kualitasnya yang terbaik di dunia,” tandasnya.
Ekspedisi NKRI 2015 merupakan ekspedisi kelima. Sebelumnya, pada 2011 hingga 2014, juga dilakukan ekspedisi di tempat berbeda. Empat ekspedisi lainnya dilakukan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. (*/c9/end)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Wong Solo yang Sudah 50 Tahun di Rumania
Redaktur : Tim Redaksi