Bulan Ramadan di Australia bertepatan dengan musim dingin.

Suhu udara di sejumlah negara bagian besar di bulan Juni rata-rata berkisar antara 10 hingga 15 derajat.

BACA JUGA: Pameran Seni Aborijin di Jepang

Suhu bahkan lebih rendah dan dingin menusuk tubuh setelah matahari tenggelam hingga menyambut Fajar.

Tetapi hal ini tidak mematahkan semangat umat Muslim di Australia untuk tidak melewatkan serangkaian ibadah di bulan puasa, termasuk bagi umat Muslim asal Indonesia.

BACA JUGA: Indonesia Jamin Tepati Kesepakatan Hukuman Jessica

Terlebih di Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, suasana Ramadan sudah dianggap sebagai perayaan yang besar.

Lantas seperti apa saat umat Muslim, sebagai kelompok minoritas, memperingati bulan suci Ramadan di Australia?

BACA JUGA: Berhasil Diciptakan Kembali Bir Tertua di Dunia

Marsya Fransiska, WNI di Melbourne

Erwin Renaldi

Marsya Fransiska adalah warga Indonesia yang baru dua bulan tinggal di Melbourne. Tetapi tahun ini menjadi Ramadan kedua kalinya di Australia, setelah sebelumnya ia tinggal di Perth.

"Bedanya sahur sendiri, apa-apa harus dilakukan sendiri, tetapi lebih gampang karena lebih pendek waktunya," ujar Marsya saat ditemui di acara buka puasa bersama di Kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), beberapa waktu lalu.

Meski Australia adalah negara multikultur yang memiliki warga dari segala budaya dan agama, Marsya mengaku kalau ia belum merasa puasa sebagai bagian dari budaya Australia.

"Tapi di kantor saya lebih toleran," ujar Marysa yang sehari-hari bekerja di bidang marketing.

"Mereka lebih mengerti sehingga saya diperbolehkan untuk dapat pulang lebih awal." Aulia Hakim

Erwin Renaldi

Perbedaan berpuasa sebagai kelompok minoritas juga dirasakan oleh Aulia Hakim, mahasiswa jurusan ekonomi di University of Melbourne.

Yang lebih berkesan, Ramadan pertamanya di Australia ini bertepatan dengan jadwal ujian akhir semesternya.

Tetapi ia mengaku kalau berpuasa justru tidak menganggu jadwal ujiannya. Sebaliknya, Aulia mengaku bisa lebih fokus dan mendapat inspirasi saat berpuasa.

"Pernah saat ujian berpuasa, lalu masuknya berbuka puasa, saya pun minum karena memang diperbolehkan," ujar Aulia.

"Yang paling saya kangenin, tentunya keluarga, biasanya dengan bapak saya suka pergi-pergi setelah shalat taraweh."

Jauh dari keluarga pun membuat Aulia harus lebih mandiri dalam menjalankan puasa.

"Sekarang kalau sahur saya harus mempersiapkan sendiri, sebelum tidur siap-siap makanan untuk sahur esok harinya." Dorsi Desongpa

Erwin Renaldi

Bagi para pelajar dan mahasiswa asal Indonesia yang berpuasa, acara berbuka puasa bersama menjadi salah satu yang ditunggu-tunggu, meski tidak terlalu sering digelar.

Beberapa masjid-masjid, khususnya masjid komunitas Muslim di Indonesia biasanya mengadakan acara berbuka puasa bersama di akhir pekan.

Di saat seperti inilah, mereka bisa melepas rasa rindu dengan kehangatan kebersamaan, selain tentunya santapan nusantara khas berbuka puasa.

"Saya paling kangen dengan beduk sebenarnmya," kata Dorsi Desongpa, mahasiswi asal Padang yang sedang mengambil Master of Education di Monash University.

"Juga kalau di Indonesia, sahur itu ada yang membangunkan, sementara sahur disini harus mempersiapkan sendiri, buka sendiri, masak sendiri, menikmati sendiri," akunya.

Tetapi yang dirasakan Dorsi dari kenikmatan bulan Ramadan di Australia justru saat menjalankan shalat tarawih.

"Saya lebih senang shalat taraweh di Australia, kalau di Indonesia, maaf ya kalau salah bicara, shalatnya seperti 'ngebut' dan kadang ada niat yang berbeda," katanya.

"Kalau di Australia, susah cari masjid disini, perjuangannya itu nikmat sekali."

BACA ARTIKEL LAINNYA... ELL: Big dan Large

Berita Terkait