Pembangunan Infrastuktur Terlalu Ambisius

Selasa, 12 Desember 2017 – 07:59 WIB
Proyek pembangunan jalan tol. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Ekonomi dari Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal turut menjelaskan bahwa penetapan target pertumbuhan ekonomi pemerintahan Jokowi-JK terlalu ambisius.

Hal itu nilai dapat menyebabkan sejumlah masalah yang bertolak belakang dengan semangat meningkatkan perekonomian Indonesia.

BACA JUGA: Kinerja Jokowi-JK Masih Jauh Panggang dari Api

Faisal menjelaskan, pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam RPJMN 2015-2019 menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen. Faktanya, hingga tiga tahun bekerja, target itu belum tercapai.

"Enam persen saja tidak tercapai. Tiga tahun terakhir flat di kisaran 5 persen. Menurut saya, masalahnya adalah target yang terlalu ambisius dan tidak diikuti dengan langkah-langkah signifikan untuk mencapai target itu," kata Faisal saat menjadi pembicara dalam Diskusi Publik "Evaluasi Capaian Ekonomi Jokowi-JK 2017 dan Proyeksi 2018" di Ruang Fraksi PKS, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/12)

BACA JUGA: Kejar Ketertinggalan Infrastruktur dengan Alokasi Dana Besar

Faisal menilai, pemerintah belum bisa menyesuaikan target tinggi dengan kemampuan untuk mencapainya.

Ia menggarisbawahi program terobosan seperti pembangunan infrastruktur dari pinggiran patut mendapat apresiasi. Ia mengaku, Indonesia memang tertinggal cukup jauh dibandingkan negara lain.

BACA JUGA: Target Pajak Bakal Tak Tercapai, Ini Saran Misbakhun

Akan tetapi, Faisal mencatat sejumlah masalah berupa penentuan target pencapaian yang terlalu tinggi.

Ia mencontohkan, di bidang energi, program percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan sebesar 35 ribu megawatt.

"Sebetulnya, secara realistis hal itu hanya bisa dicapai 50 persen sampai 2019," kata dia.

Target tinggi dalam pembangunan infrastruktur dinilai akan menyebabkan masalah karena butuh pendanaan besar.

Seluruh sumber dana pemerintah termasuk dari APBN pun diarahkan untuk pembangunan tersebut.

"Masalahnya kewajiban pemerintah dalam jangka pendek seperti peningkatan kesejahteraan dan menjaga daya beli masyarakat jadi terabaikan," katanya.

Untuk mencapai keseimbangan, kata Faisal pemerintah pun menggenjot penerimaan dari sisi perpajakan.

Sayangnya, hal ini bersamaan dengan perlambatan ekonomi global yang turut berpengaruh ke domestik.

"Jadi untuk menggali pajak akan menjadi lebih sukar," kata Faisal.

Dalam kondisi ekonomi melambat, kata Faisal, biasanya negara lain akan melonggarkan pajak.

Ketika kondisi ekonomi sudah membaik, baru pemerintah bisa menaikkan pajak sedikit demi sedikit.

Pada saat bersamaan pemerintah berusaha mengejar penerimaan untuk membiayai infrastruktur.

Ini menjadi masalah karena penerimaan dipaksakan. "Kita melakukan amnesti pajak. Sangat ekstensif dan sangat intensif. Ini kemudian memberikan dampak buruk pada ekonomi secara lebih luas," kata Faisal.

Ia mengaku, kebijakan itu berdampak pada penurunan daya beli masyarakat kelas menengah bawah.

Faisal berpendapat, penurunan daya beli tersebut tampak dari pendapatan riil masyarakat yang tergerus akibat inflasi.

Hal ini didasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan selama lebih dari satu tahun terakhir terjadi penurunan pendapatan riil, khususnya masyarakat berpendapatan rendah.

Alumni Universitas Queensland Australia ini mencontohkan, dengan kelompok buruh bangunan misalnya, meskipun secara nominal rata-rata upahnya meningkat.

Pada inflasi semester satu 2017 yang mencapai 2,4 persen menggerus pendapatan riil mereka 1,4 persen.

"Ini sekaligus mematahkan argumen pemerintah bahwa inflasi tahun ini terkendali," bebernya. (dil)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Industri Jasa Ekspedisi Terhambat Regulasi


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler