Pengerahan Massa Usai Ahok Tersangka Bisa Timbulkan Kesan Negatif

Sabtu, 19 November 2016 – 18:23 WIB
Ilustrasi. Foto: JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum Laksi (LBH LAKSI) menilai, polemik penistaan agama merupakan peristiwa pidana murni dan tidak ada kaitan dengan politik.

Karenanya, kasus penistaan agama yang telah membuat Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi tersangka itu harus diselesaikan sesuai tata cara hukum pidana.

BACA JUGA: KPK Pertimbangkan Jerat Nur Alam dengan TPPU

"Kasus ini merupakan peristiwa pidana murni tidak terkait dengan perkara yang bersifat politis sehingga wajib diselesaikan berdasarkan prosedur hukum pidana yang berlaku," kata Suhardi Somomoeljono, ahli hukum pidana dan Provisional Chairman Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) dalam forum group discusion (FGD) di Jakarta, Kamis (17/11).

FGD Itu juga dihadiri mantan Hakim Agung RI Masyur Efendi, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Jayabaya Jakarta Bambang Pranowo, Guru Besar Sosiologi Agama Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Guru Besar Sosiologi Agama Islam di Universitas Matla’ul Anwar di Serang.

BACA JUGA: Kecerdasan Sosial Jokowi Lebih Baik daripada Ahok

Menurut Suhardi, setelah penyidik Polri menetapkan Ahok tersangka, seluruh warga wajib tunduk dan taat kepada hukum yang berlaku sebagai konsekuensi dari negara hukum.

Masyarakat tidak diperkenankan melakukan tindakan yang bersifat menekan secara vandalisme dengan melibatkan massa guna memengaruhi penegak hukum dalam menjatuhkan suatu putusan.

BACA JUGA: Ahok Sebaiknya Kerja, Djarot yang Bicara

"Pengerahan massa secara besar-besaran usai ditetapkannya Ahok tersangka yang dilakukan oleh kelompok masyarakat baik muslim maupun nonmuslim dapat dipandang sebagai tindakan yang berlebihan. Hal itu dapat menimbulkan kesan negatif tidak memercayai negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam menjalankan penegakan hukum," terang Suhardi.

Dilihat dari perspektif sosiologi agama, kata Bambang Pranowo, dalam delik penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, secara sosiologi hukum dapat dikategorikan sebagai delik yang rawan sosial.

Sebab, itu menyangkut dimensi keyakinan batin orang/kelompok terhadap agama yang dianutnya. Dan ini rawan terjadi konflik horizontal.

Tindak pidana (strafbaar feit), baik yang bermuatan dalam kategori kejahatan (misdrijven) maupun yang berkategori pelanggaran (overtredingen) dalam pelaksanaannya memerhatikan salah satu dari fungsi hukum pidana.

Yaitu pentingnya melakukan upaya preventif dan tidak perlu menunggu munculnya akibat.

Maka, aparat penegak hukum idealnya langsung bekerja begitu ancaman terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi muncul. Misalnya dalam tindakan menghasut atau penghujatan terhadap Tuhan.

"Masyarakat dan atau siapa pun baik langsung atau tidak langsung mengganggu jalannya proses peradilan maka dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan hukum yang berlaku," kata Bambang.

Sementara, menurut Masyur Efendi, penggiringan opini publik dalam suatu perkara yang sedang berproses di pengadilan dapat menghasilkan putusan pengadilan yang sesat. Dengan demikian, proses hukum (law enforcement) harus benar-benar dijaga nilai-nilai independensinya.

Hukum, dalam pelaksanaannya (law in action), tidak dibenarkan dilakukan intervensi oleh siapa pun.

"Jika penyidik kepolisian menyimpulkan peristiwa pidana penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Ahok dinyatakan tidak cukup bukti dan atau bukan merupakan tindak pidana sehingga penyidikan dihentikan (SP-3) maka pihak ketiga yang memiliki kepentingan dapat mengajukan gugatan praperadilan di pengadilan negeri setempat guna membatalkan SP-3 dimaksud," kata Mansyur. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK: Choel dan RJ Lino Adalah Utang Kami


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler