"Pengesahan itu merupakan poin positif bagi DPR, di tengah banyaknya kasus masyarakat yang belum memperoleh hak dasar dan perlakuan adil di bidang pelayanan publik," ujar Sulastio, di press room DPR, Selasa (23/6).
Dijelaskan Sulastio, meski masa pembahasannya memakan waktu hampir empat tahun, dari segi proses, RUU Pelayanan Publik bisa jadi salah satu contoh proses pembahasan peraturan perundang-undangan yang baik, karena telah memberi ruang partisipasi publik, keterbukaan dan transparansi
BACA JUGA: Pekan Ini, Vonnie Ajukan Gugatan ke MK
Demikian juga halnya dari sisi substansi."Dibanding dengan draft pertama pada pembahasan awal, RUU Pelayanan Publik yang baru saja disahkan memiliki kemajuan progresif untuk beberapa sunstansi
Walau demikian, MP3 masih mencatat beberapa hal terkait substansi tersebut, antara lain perlunya memperkuat paradigma progresif dengan memperluas ruang lingkup pelayanan barang, jasa dan administratif, kepada semua penyelenggara pelayanan publik, baik yang dibiayai APBN/APBD maupun non-APBN/APBD, yang karena kedudukannya menjalankan misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
BACA JUGA: UU Pelayanan Publik Disahkan
"Dalam hal pengawasan, masyarakat juga diberikan keleluasaan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, dengan membentuk lembaga pengawas pelayanan publik," tegas Sulastio.Selain itu, MP3 juga menyesalkan belum tegasnya perlakuan dan pelayanan khusus terhadap kelompok masyarakat adat, suku terpencil, atau orang yang memiliki keterbatasan fisik tertentu dan keluarga korban kekerasan
Sedangkan soal sanksi, yang mencakup tiga jenis yakni administrasi, perdata dan pidana, ternyata tidak melalui satu lembaga peradilan
BACA JUGA: Jadi Tersangka, Udju Mundur dari BPK
Sulastio menilai ini sebagai keputusan yang tidak tepat dan inkonsisten, karena untuk sanksi pidana dan perdata harus dikeluarkan oleh Ombudsman Republik Indonesia (ORI)."Konsekuensinya, pengaduan yang diatur dalam UU Pelayanan Publik ini memiliki dua mekanisme, yaitu secara internal melalui penyelenggara pelayanan publik, serta mekanisme eksternal melalui ORI dan lembaga peradilan," imbuh Sulastio.
Mengenai penyelesaian pengaduan melalui lembaga ORI dan peradilan, lanjut Sulastio, juga masih memiliki beberapa kelemahanAntara lain seperti penyelesaian oleh lembaga peradilan yang tak memiliki batas waktu penyelesaian, biaya yang besar, serta kendala psikologis masyarakat pengadu terhadap lembaga peradilan di Indonesia.
"ORI (yang) dalam UU Pelayanan Publik berposisi sebagai lembaga penyelesai pengaduan pelayanan publik, diberikan kewenangan tambahan untuk menyelesaikan pengaduan secara ajudikasiDari satu sisi, ini membuka peluang adanya jaminan bahwa pengaduan dapat diselesaikan secara cepat, akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkanDi sisi lain, kewenangan progresif ini terbatas pada permasalahan ganti rugi semataPadahal, banyak persoalan pengaduan pelayanan publik yang tidak sebatas hal itu saja," papar Sulastio pula(fas/JPNN)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tangani Konflik, JK Sempat Lupa Diri
Redaktur : Tim Redaksi