JAKARTA - Penghapusan hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung (MA) dalam RUU
MA dikhawatirkan menjadi babak awal 'pembubaran' Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor)Bila benar-benar hal tersebut dihapus,
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkhawatirkan terjadinya kerusakan
sistem peradilan di Tanah Air.
"Kan menurut rencana, DPR akan paripurna pada 24 Oktober 2008
BACA JUGA: Rapimnas Golkar, Respon Keinginan Daerah
Salahsatu yang menjadi kekhawatiran ialah tentang penghapusan hakim Ad
Hoc," beber Deta Arta Sari, Peneliti ICW, Kamis (16/10).
Dia memperhatikan, pembahasan RUU MA sejak awal sudah bermasalah baik
secara proses maupun subtansi
dilakukan tertutup, tidak melibatkan partisipasi publik, dilakukan
tergesa-gesa dan sarat nuansa politis
BACA JUGA: Pansus BBM Tegur Serikat Pekerja
"Secara subtansi, banyakperdebatan menyangkut kewenangan pengawasan KY, usia pensiun hakim
agung, kebutuhan hakim non karir, maupun seleksi hakim agung yang
diusulkan IKAHI tidak melalui KY lagi," cetusnya.
Namun, lanjut Dita, tanpa banyak diketahui dan disadari, draft RUU
Mahkamah Agung versi Baleg (Badan Legislatif) dan draf usulan IKAHI
(Ikatan Hakim Indonesia) secara tegas menghilangkan ketentuan mengenai
keberadaan Hakim Ad Hoc di MA.
"Sebelumnya pengaturan Hakim Ad Hoc tercantum dalam Pasal 7 ayat (3)
UU No.5 tahun 2004, yang berbunyi: Pada Mahkamah Agung dapat diangkat
hakim ad hoc yang diatur dalam undang-undang."
Berdasarkan UU MA tersebut, terdapat tiga jenis hakim di Mahkamah
Agung, yaitu Hakim Agung dari karir, Hakim Agung dari non karir, dan
Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung (yang bukan Hakim Agung)
Hakim Agung (karir dan non karir) dengan Hakim Ad Hoc ditingkat kasasi
memiliki perbedaan baik dari proses seleksi maupun tugas yang
diembannya.
Hakim Agung mekanisme seleksinya melalui Komisi Yudisial dan DPR.
Sedangkan Hakim Ad Hoc proses seleksinya dilakukan oleh panitia
seleksi dan DPR
BACA JUGA: ISC Pertamina Diragukan
Hakim Agung dapat memeriksa dan memutus semua perkarayang masuk ke MASedangkan hakim ad hoc di Mahkamah Agung hanya
memeriksa kasus tertentu sesuai yang diamanatkan oleh UUDengan
demikian merupakan suatu kekeliruan yang mempersamakan hakim agung non
karir dengan hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung.
"Adanya pasal 7 ayat (3) UU MA tersebut secara eksplisit memberikan
pengakuan serta landasan atas keberadaan hakim Ad Hoc tingkat kasasi
seperti yang dikehendaki undang-undang lain di luar UU MAHingga saat
ini, beberapa undang-undang yang mengatur mengenai Hakim Ad Hoc
tingkat kasasi misalnya UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan UU Hak Asasi
Manusia," beber dia.
Pada dasarnya, lanjut Dita, UU MA dibuat untuk mengatur hal-hal
menyangkut lembaga tersebut seperti kewenangan MA termasuk siapa yang
ada didalamnyaDalam draft RUU MA, secara jelas diatur mengenai Hakim
Agung baik dari unsur karir maupun non karir yang menjadi bagian dari
MA.
"Apabila Hakim Ad Hoc tidak diatur dalam UUU MA, maka dapat
menimbulkan intepretasi bahwa mereka bukan bagian dari MA, tentu hal
itu berpotensi menimbulkan banyak masalah misalnya masalah
administratifSelain itu, penghapusan pasal mengenai Hakim Ad Hoc
jelas menimbulkan deligitimasi kedudukan mereka di MACukupkah
keberadaan mereka hanya diatur di luar UU MA, sedangkan mereka akan
bekerja memutus perkara kasasi bersama Hakim Agung di MA?," ujarnya.
Menurut Dita, salah satu Hakim Ad Hoc yang terancam kedudukannya
adalah Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Mahkamah Agung.
"Hal itu jelas akan berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Sebagai perbandingan, sejak 2004-2008 kasus-kasus yang diadili di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hingga tingkat Kasasi yang ditangani
hakim karir dan Hakim Ad Hoc, tidak ada satupun yang divonis bebas,"
bebernya.
Sedangkan, terang Dita, kasus-kasus korupsi dari pengadilan umum yang
sampai ke MA banyak yang divonis rendah sekali, bahkan divonis bebas.
Menurut pemantauan ICW, dalam kurun waktu antara tahun 2004-2008
sedikitnya terdapat 107 terdakwa yang divonis bebas oleh MADi luar
itu, tidak terhitung berapa putusan ringan kasus korupsi yang
dijatuhkan MA.
"Melihat fakta putusan-putusan yang seluruhnya ditangani oleh Hakim
Agung di MA yang masih banyak yang jauh dari rasa keadilan masyrakat,
penghapusan Hakim Ad Hoc jelas merupakan langkah mundur dalam
pemberantasan korupsiPenghapusan pasal menyangkut Hakim A Hoc juga
harus diwaspadai sebagai skenario meniadakan sama sekali Hakim Ad Hoc
di MAHal ini tidak lepas dari kemungkinan adanya kepentingan MA
maupun DPR untuk menghapus eksistensi Hakim Ad Hoc," tukasnya.
Pada MA, kata Dita, terlihat kemungkinan adanya motif 'dendam'
terhadap Hakim Ad HocBerdasarkan catatan, beberapa kali terlontar
pernyataan dari pimpinan MA yang meremehkan kualitas Hakim Ad Hoc
tindak pidana korupsi.
"Pernyataan ini dilontarkan khususnya setelah terjadi pemanggilan
Bagir Manan oleh 3 Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor dalam sidang kasus
korupsi pengacara Probosutedjo Harini Wijoso dengan 5 staf MA.
Sedangkan pada DPR, ada kekhawatiran untuk mendeligitimasi keberadaan
pengadilan Tipikor dengan Hakim Ad Hoc didalamnya karena banyaknya
kasus-kasus korupsi yang menyeret anggota dewan maupun kader-kader
partai politikUpaya penghapusan eksistensi hakim ad hoc kasasi dapat
diartikan sebagai babak awal "pembubaran" pengadilan tipikor,"
bebernya.
Berdasarkan kondisi tersebut, kata Dita, wajar jika Aliansi
Penyelamat Mahkamah Agung (APMA) menyatakan menolak segala upaya
"pembubaran atau pengkerdilan" pengadilan tipikor, mendesak DPR RI
untuk tidak menghapus pasal mengenai keberadaan hakim ad hoc dalam RUU
MA yang saat ini sedang dibahas, serta tetap menolak perpanjangan usia
pensiun hakim agung hingga 70 tahun," pungkasnya.(gus/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Praperadilan SP3 Sudrajat Ditolak
Redaktur : Tim Redaksi