jpnn.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan merespons pernyataan Kababinkum TNI Laksda Kresno Buntoro terkait usulan penghapusan pasal larangan berbisnis bagi TNI dalam UU Nomor 34 Tahun 2004.
Pengamat militer dari Centra Initiative, Al Araf yang tergabung dalam koalisi menyebut usulan itu disampaikan Kababinkum TNI dalam keterangannya di forum "Dengar Pendapat Publik RUU TNI/Polri" yang diselenggarakan Kemenko Polhukam di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat pada Kamis 11 Juli 2024 lalu.
BACA JUGA: Pembunuhan Wartawan di Karo, Komisi I DPR Minta Puspomad Usut Dugaan Keterlibatan Oknum TNI
"Kami memandang usulan Kababinkum TNI tersebut merupakan pandangan keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi tubuh TNI," kata Al Araf dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (16/7).
Dia menjelaskan bahwa militer dididik, dilatih, dan dipersiapkan untuk perang. Hal itu merupakan raison d’etre (hakikat) militer di negara mana pun.
BACA JUGA: TB Hasanuddin Tak Melihat Potensi Dwi Fungsi ABRIÂ di Revisi UU TNI
Tugas dan fungsi militer untuk menghadapi perang/pertahanan merupakan tugas yang mulia dan merupakan kebanggaan penuh bagi seorang prajurit.
"Karena itu, prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya, bukan berbisnis," ucapnya.
BACA JUGA: Oknum TNI AU yang Tembak Warga di Palu Bakal Diproses Hukum
Al Araf menilai bahwa militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara.
Oleh karena itu, dia memandang rencana menghapuskan larangan bisnis dalam UU TNI bukan hanya akan berdampak pada lemahnya profesionalisme militer, tetapi juga akan melemahkan usaha militer menjaga pertahanan dan kedaulatan negara karena bertambahnya tugas yang jauh dari dimensi pertahanan dan keamanan.
Selain itu, militer diberikan anggaran yang besar triliunan rupiah untuk belanja alat utama sistem (Alutsista) seperti pesawat tempur, tank, kapal selam, kapal perang, helikopter dan sebagainya yang sepenuhnya ditujukan untuk menyiapkan kapabilitas mereka untuk berperang bukan kemudian berbisnis dan berpolitik.
"Karena itu rencana revisi usulan mencabut larangan berbisnis dalam UU TNI adalah sesuatu yang berbahaya dalam pembangunan profesionalisme militer itu sendiri," ujar Al Araf.
Menurut dia, politik hukum dimasukkannya pasal larangan berbisnis dalam batang tubuh UU TNI adalah karena pengalaman historis masa Orde Baru, di mana tugas dan fungsi militer yang terlibat dalam politik dan bisnis telah mengganggu–bahkan mengacaukan– profesionalisme militer sendiri masa itu.
Dampak lainnya, bahkan hingga mengancam kehidupan demokrasi dan kebebasan sipil. Karena itu, ketika reformasi 1998 bergulir, lanjutnya, militer dikembalikan ke fungsi aslinya untuk pertahanan negara.
"Oleh karena itu DPR dan pemerintah harus segera menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang kontroversial ini karena hanya akan memundurkan jalanya reformasi tubuh TNI," tutur Al Araf.
Dia juga mengatakan bahwa salah satu permasalahan profesionalisme TNI adalah mengenai bisnis keamanan di perusahaan milik swasta dan negara, serta pengamanan proyek-proyek pemerintah.
Penghapusan pasal tersebut menurut Al Araf dapat melegalkan dugaan praktik bisnis keamanan yang selama ini terjadi, khususnya di sektor sumber daya alam.
Pihaknya bahkan menyebut beberapa contoh, seperti pengamanan PT. Freeport Indonesia di Papua, Pengamanan PT. Dairi Prima Mineral di Sumatera Utara, Pengamanan PT. Inexco Jaya Makmur di Sumatera Barat (2018), Pengamanan PT. Duta Palma, Kalimantan Barat (2024).
Termasuk keterlibatan dalam perampasan tanah adat Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) oleh PTPN II di Sumut (2020), Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener, Wadas (2021), PSN Smelter Nikel CNI Group Sulawesi Tenggara (2022), PSN Rempang Eco City Batam (2023), hingga PSN Bendungan Lau Simeme di Sumut (2024).
Contoh lainya adalah dalam temuan Penelitian Koalisi Masyarakat Sipil yang berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya (2021)” ditemukan adanya hubungan, baik secara langsung maupun tidak langsung mengenai penambahan prajurit TNI di Intan Jaya dengan pengamanan perusahan-perusahaan di sana.
"Praktik pengamanan ini menurut catatan Koalisi Masyarakat Sipil akan meletakan Prajurit TNI berhadapan secara langsung dengan masyarakat yang sedang bersengketa dengan perusahaan, tidak jarangan praktik pengamanan menimbulkan kekerasan," tuturnya.
Maka dari itu, kata Al Araf, sudah sepatutnya yang dilakukan negara bukanlah merevisi UU TNI dengan mencabut larangan berbisnis bagi prajurit TNI, tetapi memastikan kesejahteraan prajurit terjamin dengan dukungan anggaran negara bukan dengan memberikan ruang tentara untuk berbisnis.
"Praktik ini terbukti menyebabkan profesionalisme prajurit menjadi rusak seperti era Orde Baru. Selain itu, militer harus jelas alokasi anggaran pertahanannya untuk memastikan Alutsista yang modern dan kesejahteraan prajurit," ujar Al Araf.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam