jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan memberikan tanggapan atas aksi mogok pengrajin tahu tempe pelaku UMKM buntut mahalnya harga kedelai sejak Jumat (1/1) hingga Minggu (3/1).
Menurut Syarief, kenaikan harga kedelai ini adalah masalah klasik namun tidak sulit untuk diselesaikan secepatnya oleh pemerintah.
BACA JUGA: Tempe Langka, LaNyalla Minta Pemerintah Stabilkan Harga Kedelai
Ia menilai persoalan ini menjadi besar dikarenakan tahu dan tempe adalah salah satu makanan terbanyak dikonsumsi karena bergizi tinggi, murah, dan mudah diakses oleh masyarakat banyak.
"Aksi mogok karena kenaikan harga bahan baku berbuntut pada masyarakat yang menjadi konsumen tahu tempe sehingga pemerintah harus hadir menjembatani persoalan ini," ungkap Syarief, Rabu (6/1).
BACA JUGA: Tempe dan Tahu Langka, Polri Kejar Penimbun Kedelai di Beberapa Daerah
Syarief mengatakan memang harga kedelai yang merupakan bahan baku tahu dan tempe melonjak tajam dari Rp 7.200 menjadi Rp 9.200 per kilogramnya.
"Kenaikan ini harus diintervensi oleh pemerintah sehingga para pengrajin tahu tempe UMKM dapat tetap berproduksi dengan harga yang stabil untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang menjadi konsumen tahu tempe," ungkap Syarief.
BACA JUGA: Realisasi Belanja Rendah, Syarief Hasan Dorong Jokowi Genjot Kinerja Menteri
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini juga mengungkapkan penyebab utama masalah klasik ini yakni belum tercapainya swasembada pangan.
Namun, ia berujar, masalah penting lain adalah menjaga harga stabil, serta supply dan demand kedelai sekalipun masih tergantung pada impor.
Menurut Syarief, saat sekarang ini pemerintah harus membuka kran impor kedelai untuk diberikan kepada koperasi-koperasi, asosiasi tempe dan tahu.
"Bukan hanya kepada pedagang-pedagang besar yang menguasai pasar," tegasnya.
Syarief menambahkan berdasar data yang dipublikasikan Kompas, Selasa (5/1), kebutuhan kedelai di Indonesia setiap tahun rata-rata mencapai 2,8 juta ton. Alokasinya, 70 persen untuk tempe, 20 persen tahu, dan sisanya untuk bahan kecap.
Dia menambahkan untuk memenuhi kebutuhan kedelai itu, Indonesia harus impor hingga 2,5 juta ton yang sebagian besar dari Amerika Serikat dan Kanada.
Menurut Syarief, Kementerian Pertanian (Kementan) harusnya kembali menggiatkan program swasembada pangan, khususnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
"Apabila kita swasembada pangan maka kita bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor yang menjadi salah satu penyebab naik turunnya harga pangan, seperti kedelai," katanya.
Ia mendorong pemerintah segera membuat rencana strategis tersebut.
Pemerintah harus membuat pemetaan berapa ratus hektare lahan pembibitan dan penanaman kedelai sesuai jumlah kebutuhan pasar, hingga aspek-aspek teknis lainnya.
"Sehingga persoalan kedelai yang menjadi bahan baku utama tahu tempe tidak muncul kembali dan tidak meresahkan masyarakat dan para pelaku usaha UMKM," tutup Syarief. (*/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Boy