Pengurusan Izin Mengimpor Barang Masih Rumit

Sabtu, 12 Agustus 2017 – 11:45 WIB
Ilustrasi peti kemas. Foto: Frizal/Jawa Pos

jpnn.com, JAKARTA - Pemakai jasa impor borongan terpukul dengan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Impor Berisiko Tinggi (PIBT) pada 12 Juli.

Kini, banyak pengusaha yang wait and see sambil menunggu penyederhanaan peraturan yang dijanjikan pemerintah.

BACA JUGA: Wacana Pembatasan Impor Tembakau Dinilai Tidak Tepat

Ketua Asosiasi Importir Telepon Genggam dan Tablet Indonesia Boni Angga Budiman menyatakan, Satgas PIBT memang dibentuk untuk mendorong para importir mengurus perizinan sendiri tanpa melibatkan penyedia jasa importir borongan.

Menurut dia, sebenarnya para importir siap memenuhi aturan yang berlaku. Namun, yang menjadi persoalan adalah pengurusan izin mengimpor barang yang rumit.

BACA JUGA: Separuh Bahan Baku Industri Plastik Masih Impor

Apalagi harus melalui sejumlah perizinan berliku di kementerian/lembaga (K/L) terkait.

’’Sebagai contoh, harga produk smart band (pemonitor detak jantung, Red) itu kan cuma Rp 99 ribu–Rp 125 ribu. Tapi, mengimpor barang ini harus melewati empat lembaga, Kemenkominfo, Kemendag, Bea Cukai, dan Kemenkes,’’ jelas Boni kepada Jawa Pos.

BACA JUGA: Surplus Neraca Perdagangan Tertinggi sejak 2012

Ada lagi yang lebih rumit. Untuk mengimpor sebuah printer berwarna, diperlukan perizinan atau surat rekomendasi dari Badan Intelijen Negara (BIN).

Karena berlikunya pengurusan tersebut, importer lebih memilih menggunakan jasa borongan.

Itulah pengadaan barang lewat perusahaan yang secara khusus menyediakan jasa impor.

Biasanya hal itu dilakukan perusahaan freight forwarder atau jasa ekspedisi.

Menurut Boni, aturan penertiban tersebut justru hanya menguntungkan para pemain besar atau importir kakap.

Importir kecil pun terhambat untuk mengimpor barang. Sebaliknya, pemain besar bisa lebih leluasa melakukan impor. Akibatnya, daya saing industri bakal mati.

’’Kami lihat yang besar-besar yang tidak ada masalah. Pebisnis yang kecil-kecil atau yang baru memulai usaha akan mengalami kesulitan,’’ ujarnya.

Karena itu, Boni berharap pemerintah benar-benar menyederhanakan perizinan importasi barang.

Selain itu, dia mengusulkan agar pemerintah mengizinkan barang impor masuk dulu ke Indonesia. Baru kemudian dipilah mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.

’’Jadi, kami bisa sembari ngurus izinnya. Saking lamanya mengurus izin, barang yang tadi sedang booming tidak laku karena kelamaan tertahan begitu sudah keluar,’’ katanya.

Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi menuturkan, pemerintah telah sepakat menyederhanakan perizinan larangan terbatas (lartas) dari yang semula 48,3 persen menjadi 20,8 persen.

’’Itu bakal dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya,’’ tutur Heru kepada Jawa Pos kemarin (11/8).

Pemerintah berharap penyederhanaan akan menurunkan ongkos logistik, mengurangi dwelling time (durasi tunggu di pelabuhan), dan membantu para importer yang terkendala perizinan.

Namun, Heru menegaskan bahwa izin-izin itu tidak lantas dihilangkan. Perizinan masih tetap ada.

Bedanya, barang-barang impor tersebut sudah diperbolehkan masuk sampai gudang di Indonesia sehingga tidak perlu tertahan di gudang negara asalnya seperti Singapura atau Hongkong.

’’Jadi, tetap kami lakukan pengawasan. Tapi, eksekusi (perizinan, Red) tidak lagi langsung di pelabuhan,’’ terangnya. (ken/c14/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Panglima TNI: Impor Berisiko Tinggi Berdampak Bagi Ekonomi dan Penerimaan Negara


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
impor  

Terpopuler