jpnn.com, BATAM - Kalangan pengusaha di Batam kembali menggemakan penolakan penerapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di kota industri tersebut.
Para pengusaha lebih memilih Batam tetap menerapkan Free Trade Zone (FTZ).
BACA JUGA: Transformasi FTZ ke KEK adalah Win-win Solution Bagi Batam
Jika pemerintah tetap menginginkan perubahan, maka lebih baik fasilitas dalam FTZ ditambah, bukan mengubahnya menjadi KEK.
"Kami bicara mengenai kepastian hukum. Negara sudah beri fasilitas FTZ selama 70 tahun. Kami tak menginginkan setiap pergantian presiden, kebijakan ikut berubah. Selesaikanlah dulu FTZ di Batam," kata Ketua Kadin Kepri Achmad Makruf Maulana, Selasa (8/5) di Mall Pelayanan Publik (MPP).
BACA JUGA: Presiden Jokowi Ingin Dualisme Kewenangan di Batam Berakhir
KEK akan memberlakukan sistem enclave terhadap dunia usaha. Artinya masing-masing jenis industri akan menempati zona tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
"Orang Batam sudah paham karena sebelum FTZ, kita sudah jelas mengalami kesulitan pas enclave. Masa kita ke kawasan industri harus urus izin dulu," katanya lagi.
BACA JUGA: Xiaomi Bawa Rekanannya Bangun Pabrik di Batam
Jika FTZ dianggap memiliki kelemahan, maka lebih baik memperbaiki kelemahan tersebut.
Caranya adalah dengan merangsangnya lewat penambahan insentif.
FTZ memang sudah menggiurkan dengan fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM).
Namun ditengarai memiliki banyak kelemahan yakni fasilitas tersebut berlaku bukan hanya untuk barang industri tapi juga barang konsumsi masyarakat, seperti barang kebutuhan pokok dan juga mobil CBU.
Namun pada kenyataannya harga kebutuhan pokok di Batam dan juga mobil setara atau bahkan lebih mahal dari barang serupa di daerah lainnya.
Di satu sisi, pasar domestik masih stabil. Namun karena kebijakan FTZ yang mewajibkan pelaku usaha untuk membayar bea masuk ketika memasarkan produk ke wilayah pabean di dalam negeri, maka kebijakan FTZ justru menjadi sebuah blunder.
FTZ sebagai kawasan perdagangan bebas membutuhkan infrastruktur pelabuhan yang kompetitif untuk memudahkan arus pergerakan barang masuk dan keluar Batam.
Namun alat penting tersebut tak dimiliki Batam. Pelabuhan Batuampar sangat ketinggalan zaman. Kondisinya berantakan dan kapasitasnya kecil untuk menampung kontainer.
Akibatnya biaya logistik pengiriman barang menjadi tinggi karena bahan baku industri harus singgah dulu ke Pelabuhan Singapura yang punya kapasitas besar. Untuk kemudian dimuati di kapal-kapal kecil yang akan berlabuh di Batam dan kemudian menuju kawasan industri.
"Jika ada kelemahan mengapa tak diperbaiki saja," ungkapnya.
Menurut Makruf, FTZ Batam harus ditambah fasilitas-fasilitas penting seperti Tax Holiday dan Tax Allowance. Ia yakin dengan penambahan tersebut akan lebih menarik minat investor.
Perubahan regulasi secara mendadak dianggap tidak perlu karena dapat menimbulkan ketidakpastian kepada investor yang mau masuk atau sudah eksis di Batam.
"Persoalan ini akan dibawa ke sidang kabinet. Kami tetap ingin Batam lanjut jadi FTZ. Ini semua untuk kepentingan dunia usaha," ungkapnya.
Wacana transformasi FTZ menuju KEK memang pernah dikhawatirkan oleh pimpinan BP Batam sebelumnya. Mantan Wakil Ketua BP Batam Agus Tjahajana pernah mengatakan KEK berpotensi menimbulkan resiko karena ada beberapa perusahaan yang tidak bisa masuk ke zona KEK.
Misalnya, PT Sat Nusapersada di Pelita. Sebab pabrik tersebut berada di tengah permukiman warga.
Risiko kedua, kata Agus, terkait kepastian hukum. Menurut dia, beralihnya FTZ ke KEK akan memimbulkan ketidakpastian bagi investor dan pengusaha.
Risiko lainnya, adalah risiko sosial dan hukum yang juga mungkin timbul. Sebab saat industri direlokasi ke KEK, maka bisa saja terjadi PHK untuk menyesuaikan keadaan. Dan perusahaan yang tidak sepakat dengan penghapusan FTZ dapat menuntut pemerintah.
“Saat relokasi, industri bisa saja tidak bisa produksi sehingga merugi dan kehilangan pelanggan. Pemerintah juga harus menyediakan biaya lahan dan bangunan berikut infrastruktur pengganti dalam rangka relokasi,” terangnya.
Bagi BP Batam, mereka akan menjadi sangat selektif dalam memberikan izin investasi karena hanya memberikannya untuk investor yang mau masuk KEK. “Sedangnkan isu lain adalah mengenai
aset BP Batam yang kualitasnya dipastikan akan menurun selama masa transisi karena tidak ada pembangunan,” jelasnya.
Agus menambahkan, banyak hal yang harus ditentukan dalam menentukan KEK. Termasuk juga penentuan jumlah permukiman, perdagangan jasa, dan rumah liar yang harus direlokasi. Begitu juga dengan industrinya dan batas zona KEK.
Makanya untuk Batam, kata Agus, FTZ masih menjadi opsi terbaik saat ini. Menurut dia, pandangan yang mengatakan sistem FTZ mulai ditinggalkan adalah salah. Sebab faktanya, saat ini masih banyak kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas yang diberlakukan di sejumlah negara. Misalnya Tiongkok dengan Shanghai Pilot Free Trade Zone-nya, Malaysia dengan
Digital Free Trade Zone, Abu Dhabi dengan Khalida Port Free Trade Zone, dan lainnya.(leo)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BKPM Pede Target Investasi Rp 765 Triliun Tercapai
Redaktur & Reporter : Budi