Pengusaha dan Industri Kreatif Menolak Aturan Zonasi Iklan Rokok

Kamis, 29 Agustus 2024 – 15:46 WIB
Kalangan pengusaha dan pelaku industri kreatif yang menolak Pasal 449 dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Foto: dokumentasi AMLI

jpnn.com, JAKARTA - Kalangan pengusaha dan pelaku industri kreatif menolak Pasal 449 dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.

Aturan itu mengatur zonasi pelarangan iklan media luar ruang dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.

BACA JUGA: Rencana Larangan Iklan Rokok di Ruang Publik, DPI Tegas Pertanyakan Hal Ini

Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Media Luar-Griya Indonesia (AMLI) Fabianus Bernadi mengatakan aturan itu dirancang tanpa melibatkan para pengusaha dan pelaku industri.

Akibatnya, aturan dianggap bermasalah dan berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi industri periklanan maupun sektor turunannya.

BACA JUGA: Pemegang Hak Siar Liga 1 Bantah TGIPF Soal Akomodir Iklan Rokok

“Kemungkinan akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), karena ini menjadi efek domino, salah satunya ke industri kreatif kelas menengah ke bawah. Jadi, dampaknya cukup signifikan,” ucap Fabianus dalam keterangannya, Rabu (28/8).

Fabi, bahkan sudah membuat simulasi jika PP 28 Tahun 2024 tentang kesehatan. Turunan PP ini, menetapkan aturan ketat untuk iklan produk tembakau dan rokok elektronik.

BACA JUGA: Sergub Anies Soal Larangan Iklan Rokok, Dinilai Menghambat Pedagang Ritel

Berdasarkan Pasal 449 ayat (1), iklan tidak boleh dipasang di area sensitif seperti fasilitas kesehatan, tempat pendidikan, area bermain anak, tempat ibadah, dan angkutan umum.

Hasilnya, dari 57 perusahaan yang tersebar di 26 kota, terdampak dengan regulasi tersebut.

Industri yang mengandalkan 75 persen produk rokok, sebanyak 25 persen perusahaan diprediksi langsung bangkrut.

“Contohnya di Bali, sudah ada laporan, ada festival musik yang batal dilaksanakan karena tidak mendapatkan sponsor rokok. Pengiklan tidak berani, karena takut melanggar PP 28,” kata dia.

Fabi mengungkapkan pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam proses pembuatan regulasi tersebut.

Padahal, ketika PP itu masih dalam bentuk rancangan (RPP), industri media luar sudah terdampak. Pasalnya, kontribusi sponsor rokok cukup besar.

“Ini bukan persoalan 500 meter dari satuan pendidikan saja, tetapi tidak diletakkan di jalan utama. Saya kira harus dihilangkan karena reklame itu harus ditempat ramai,” tuturnya.

Dia berharap agar penerapannya ditunda dan pada masa penundaan itu, melibatkan pihak pengusaha untuk diterima masukannya.

“Kami minta direvisi, paling simple kembali ke Peraturan 109,” tambahnya.

Peringatan Fabianus diamini oleh Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia (DPI) Heri Margono. Harapannya, regulasi ini ditunda dahulu penerapannya.

Asumsinya, sebuah regulasi itu harus memenuhi dua kriteria. Pertama harus mempertimbangkan keadilan. Kedua, mengedepankan efisiensi.

“Keduanya tidak gampang. Mestinya melibatkan pihak terlibat. Supaya menjadi efisien dan adil. Di PP ini ada yang merasa ketidakadilan,” kata Heri.

Heri mengatakan sebelum aturan itu disahkan, DPI telah menyampaikan aspirasi kepada Kementerian Kesehatan, tetapi tidak pernah direspons. Dia menyayangkan sikap abai Kemenkes.

Padahal, aturan itu berdampak langsung pada pelaku usaha media luar ruang serta sektor-sektor pendukungnya, seperti desainer dan percetakan.

"Industri kreatif yang berpotensi menyerap angkatan kerja baru terancam akibat kebijakan ini," tutur Fabi. (mcr4/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tolak Wacana Larangan Total Iklan Rokok, Asosiasi Periklanan Indonesia: Itu Tidak Adil


Redaktur : M. Rasyid Ridha
Reporter : Ryana Aryadita Umasugi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler