jpnn.com - SURABAYA - Pengusaha meminta pemerintah segera memutuskan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Sebab, ketidakpastian kenaikan harga BBM dikhawatirkan akan membuat iklim perekonomian dalam negeri semakin tidak stabil.
Wakil Ketua Umum Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur (Jatim) Nelson Sembiring mengatakan, Sejak awal pihaknya mendukung BBM subsidi ditiadakan. "Kami menganggap subdisi yang digelontorkan pemerintah untuk BBM tidak dinikmati oleh golongan semestinya. Artinya, subsidi ini salah sasaran," katanya disela-sela pelatihan energi kemarin (6/11).
BACA JUGA: Desak Tuntaskan Penurunan Harga Gula
Menurut Tim Business Development Center Kadin Jatim Puguh Iryantoro, makin berlarutnya pemerintah menetapkan kenaikan harga BBM subsidi akan memicu banyak spekulasi. Harga berbagai kebutuhan ikut terkerek tanpa ada standar yang jelas. Selain itu, makin membuka peluang bagi masyarakat untuk membeli BBM subsidi secara besar-besaran dan melakukan penimbunan. "Ini harus segera ditetapkan. Tapi untuk menaikkannya, pemerintah juga harus melihat kemampuan atau daya beli masyarakat serta harga minyak dunia," ujarnya.
Saat ini harga minyak dunia cenderung turun ke level USD 85 per barrel dari posisi sebelumnya yang mencapai USD 111 per barrel. Untuk itu Puguh berharap kenaikannya tidak terlalu tinggi.
BACA JUGA: Jatim Jadi Pilot Project Ekonomi Syariah
Dukungan Kadin terhadap kenaikan harga BBM subsidi juga mengacu pada rendahnya pendapatan dari produksi minyak dalam negeri. Paguh menyampaikan, pendapatan dari lifting minyak dalam negeri sebagian besar digunakan untuk membayar biaya recovery perusahaan yang melakukan proyek eksporasi minyak. Dia mencontohkan, tahun dari hasil produksi minyak yang mencapai 830.000 barrel per hari atau setara dengan Rp 233 triliun per tahun, sebanyak Rp 191 triliun digunakan untuk cost recovery.
"Sisanya hanya tinggal Rp 31 triliun. Padahal impor kita mencapai 23,03 juta liter minyak atau setara dengan Rp 230 triliun. Jadi devisit masih sangat banyak. Ironisnya, BBM subsidi yang digunakan sektor transportasi sangat besar yakni sekitar 40 persen. Sementara industri mencapai 42-44 persen" tuturnya."
BACA JUGA: Saatnya Pacu Pasar Modal Syariah Indonesia
Menurut dia, idealnya penggunaan BBM subsidi minimal 50 persen untuk industri sehingga mampu menggerakkan perekonomian dalam negeri seperti di beberapa negara lain. Sedangkan sektor transportasi yang cenderung bersifat konsumtif harusnya kurang dari 40 persen. Tujuannya untuk menekan angka konsumsi BBM."
Paguh menyatakan, kondisi seperti ini menyebabkan lonjakan konsumsi BBM subsidi akan semakin besar. Saat ini rata-rata pertumbuhan konsumsi BBM subsidi dalam negeri mencapai 4,5-5,5 persen dari konsumsi sebesar 1,1 miliar hingga 1,2 miliar setara barrel minyak.
Selain menaikkan BBM subsidi, lanut dia, pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi juga menjadi harga mati untuk dilaksanakan. "Jangan sampai seperti tahun-tahun sebelumnya, dimana upaya optimalisasi energi terbarukan dan konservasi energi ke gas hanya ramai dibicarakan dan digagas saat gonjang-ganjing kenaikan harga BBM," ungkapnya.
Paguh menilai pemerintah hanya sebatas memberikan apresiasi untuk pengembangan energi alternatif ini ketika peresmian saja, setelah itu hilang. Dia berharap pemerintah baru akan lebih serius menggarap dan mengoptimalkannya, mengingat potensi energi alternatif di Indonesia sangat besar. Beberapa jenis energi alternatif yang bisa dioptimalkan di Indonesia diantaranya Energi Surya Foto Voltaik, Energi Surya Termal, Energi Air, Energi Biomassa, Energi Bioethanol, dan Energi Biodise. (ias)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menteri BUMN Instruksikan Naik Kelas Ekonomi, Garuda Indonesia Merugi
Redaktur : Tim Redaksi