jpnn.com, JAKARTA - Juru bicara Partai Garuda Teddy Gusnaidi angkat bicara soal penolakan pendirian gereja yang terjadi di Kota Cilegon, dan kasus seperti ini bukan kali pertama yang terjadi di negeri.
Dia sangat menyesalkan wali kota setempat yang ikut menandatangani penolakan pendirian gereja di wilayahnya yang diprakarsai oleh kelompok yang menamakan diri sebagai Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon.
BACA JUGA: Kecam Penolakan Gereja, SAS Institute Sebut Wali Kota Cilegon Langgar HAM dan Konstitusi
Menurut Teddy, jika wali kota menolak pembangunan rumah ibadah karena ada aturan yang belum dijalankan merupakan hal yang wajar karena sebagai pemimpin harus menegakkan aturan.
"Kalau wali kota ikut menandatangani penolakan, ini yang tidak wajar, karena sudah bukan lagi urusan aturan, tetapi urusan like dislike," kata Teddy Gusnaidi melalui keterangan, Selasa (13/9).
BACA JUGA: Menolak Izin Pendirian Gereja Sama Saja Menyakiti Saudara Sebangsa
Dia menegaskan sebagai kepala daerah, seharusnya wali kota meluruskan bahwa berdasarkan amanat UUD 45 secara tegas menjelaskan negara menjamin peribadatan rakyat.
"Bukan malah ikut menandatangani petisi penolakan," sesalnya.
BACA JUGA: Kemenag: Jangan Tolak Pembangunan Gereja di Cilegon, SK Bupati Tahun 1975 Tidak Relevan Lagi!
Teddy pun meminta semua kepala daerah, termasuk Wali Kota Cilegon Helldy Agustian memiliki tugas untuk mengingatkan kepada masyarakatnya bahwa ada konsekuensi hukum yang bakal dihadapi jika ada yang menggunakan kekerasan untuk menghalangi pembangunan rumah ibadah.
"Saya yakin, sekelas wali kota tentu paham bahwa hal itu tidak dapat dibenarkan di negara Pancasila," kata Teddy lagi.
Teddy juga meyakini semua kepala daerah, termasuk Wali Kota Cilegon tidak anti terhadap Pancasila.
Dia juga mengingatkan kepada semua pihak bahwa NKRI adalah negara yang lahir karena perbedaan. Negara yang berdasarkan hukum, bukan negara barbar yang dijalankan berdasarkan kebencian.
"Alasan penolakan bisa saja berhubungan dengan urusan suara, urusan elektabilitas," ujarnya.
Namun, lanjut Teddy, jika alasan itu yang dikedepankan artinya sama saja mengkhianati konstitusi negara.
Sebelumnya, Kementerian Agama juga bersikap tegas mengenai masalah penolakan pembangunan gereja di Kota Cilegon.
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama Wawan Djunaedi mendorong wali kota untuk membentuk desk bersama yang terdiri atas kepala daerah, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Kemenag pemuka agama, tokoh masyarakat, Forkompinda, dan ormas sebagai upaya pemecahan masalah.
Dia menilai, berbagai pihak perlu mendapatkan informasi yang sebenar-benarnya bahwa Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK1975 tanggal 28 Maret 1975 sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan dasar penolakan pendirian gereja.
"Jangan tolak pembangunan gereja di Cilegon, karena SK bupatinya sudah tidak relevan lagi," tegas Wawan di Jakarta, Kamis (8/9). (mar1/jpnn)
Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi