Pentingnya Mengenal Kepribadian Capres Hingga Caleg dari Bahasa dalam Kampanye

Senin, 13 November 2023 – 16:56 WIB
Ekonom sekaligus Rektor Universitas Prasetiya Mulya Djisman S. Simandjuntak. Foto: dok. pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Ekonom sekaligus Rektor Universitas Prasetiya Mulya Djisman S. Simandjuntak berpendapat kepribadian calon pemimpin dapat dilihat dari bahasa yang disampaikan saat berkampanye.

Menurut Djisman, bahasa merupakan pembeda utama antara manusia dengan hewan. Bahasa bisa menyembunyikan niat, mengungkapkan rasa murka, belas kasih, kekaguman, berandai-andai, dan lainnya.

BACA JUGA: Bawaslu Sumsel: Parpol Mencuri Start Kampanye Bakal Dipidana

"Bahasa adalah sesuatu yang sangat melible (mudah meleleh), bisa diputar-putar untuk mengungkapkan sesuatu yang penting maupun tidak penting," ujar Djisman, dalam diskusi publik bertajuk 'Bahasa dan Kampanye Pemilu' di IKJ Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dikatakannya, bahasa yang dipakai seseorang juga memberi sinyal tentang kepribadian orang itu. Dia mencontohkan saat membaca puisi Schiller, dan membandingkan dengan bahasa Adolf Hitler.

BACA JUGA: Ingat, Caleg Masuk DCT yang Kampanye di Luar Jadwal Bisa Kena Pidana

"Mereka sama-sama dari Jerman, punya bahasa yang sama, bangsa yang sama, tetapi ungkapan bahasa mereka berbeda. Schiller menganggap kita semua bersaudara, sebaliknya, Hitler menganggap orang Yahudi harus dimusnahkan," tuturnya.

Djisman berpendapat, umumnya masyarakat sering terpengaruh dari bahasa yang dipakai seseorang, seperti ketika zaman kolonial, jika Presiden Soekarno akan berpidato, banyak orang berbondong-bondong berkumpul, ataupun mendengar dari radio. Dari pidato itu banyak orang bersemangat, bergairah memperjuangkan kemerdekaan.

BACA JUGA: Mendagri Tito Karnavian Dorong Polri Aktif Awasi Kampanye Hitam Jelang Pemilu 2024

Oleh karena itu, Dsjiman mengajak masyarakat agar memperhatikan gaya bahasa yang dipergunakan para calon presiden (capres), calon wakil presiden (cawapres) maupun calon legislatif (caleg) saat berkampanye.

"Agar menemukan sesuatu yang berharga dari perbedaan-perbedaan mereka, demi bisa mendapatkan pertimbangan yang baik saat kita akan memilih mereka dalam pemilu nanti," tuturnya.

Sementara itu, sastrawan dan Rektor Institut Kesenian Jakarta 2016-2020 Seno Gumira Ajidarma berpendapat, masyarakat perlu kritis dalam membaca, mendengar, menyaksikan sebuah kampanye di media.

Menurut Seno, penting untuk makin disadari masyarakat dalam memahami sebuah kampanye pemilu adalah literasi bahwa apa pun yang dilihat dan didengar umumnya melalui media.

"(Apa yang disampaikan) media itu bukan realitasnya. Kita sering tidak sadar bahwa semua yang kita saksikan itu adalah 'bikinan' orang, 'bikinan' tim atau buatan orang usil melalui proses editing, editor, poisisi media dan segala macam terkait proses teknis. Itu semua tidak ada yang riil sama sekali," kata Seno.

Dia menuturkan umumnya bahasa kampanye itu bisa dianalisis bila disikapi dengan kritis, baik maupun buruk.

"Ada kampanye yang disajikan dengan gaya bahasa eufemisme, menyerang secara halus. Itu boleh-boleh saja, tetapi yang terpenting bagi kita adalah membentengi diri dengan sikap kritis," jelasnya.

Dengan sikap kritis dan cara pengamatan seperti itu, lanjut Seno, masyarakat bisa terhindar dari informasi-informasi yang tidak benar dan nyata, sehingga tidak mudah menjadi korban kampanye buruk.

"Dengan kesadaran utama itu kita akan lebih cerdas dan pintar mengamati, kita bisa “survive” dalam hiruk pikuk kampanye pemilu. Kita tidak akan mudah termakan isu dan akan mempertimbangkan apa pun bahwa demokrasi itu semua tergantung pemilihnya," ungkapnya. (jlo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler