Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Dinilai Bakal Suburkan Rokok Ilegal

Sabtu, 20 Juli 2024 – 20:47 WIB
Tumpukan rokok ilegal yang disita petugas Bea Cukai Sidoarjo. ilustrasi. Foto: Dokumentasi Bea Cukai

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah melalui dokumen Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) 2025 mencantumkan rencana untuk melakukan intensifikasi kebijakan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT), salah satunya melalui penyederhanaan layer.

Penyederhanaan layer atau struktur tarif cukai rokok dinilai berpotensi menyuburkan rokok ilegal.

BACA JUGA: Gelar Operasi Gempur, Bea Cukai Amankan Puluhan Ribu Rokok Ilegal

Penyederhanaan tarif cukai itu dianggap akan membuat konsumen yang terbebani dengan kenaikan harga berpotensi lari ke pasar rokok ilegal. 

Akademisi Universitas Padjajaran Wawan Hermawan mengatakan penyederhanaan tarif cukai tersebut akan membuat produsen besar mendominasi pasar, sehingga hanya rokok dengan harga yang relatif mahal saja yang akan tersedia.

BACA JUGA: Dorong UMKM Naik Kelas, Bea Cukai Beri Asistensi Lewat Coaching Clinic

"Harga rokok (legal) dari Rp 25 hingga Rp 30.000 dibanding (rokok ilegal) yang Rp 10 hingga Rp 15.000. Kebijakan itu akan sangat menurunkan minat terhadap rokok legal,” ucap Wawan dalam keterangannya, Sabtu (20/7).

Menurut dia, dengan adanya tekanan ekonomi yang dihadapi masyarakat, banyak perokok yang mencari alternatif lebih murah untuk tetap memenuhi kebiasaan mereka.

BACA JUGA: Gelar Operasi Gempur, Bea Cukai Amankan Puluhan Ribu Rokok Ilegal di Luwu Timur

Pada akhirnya, akan meningkatkan konsumsi rokok ilegal maupun sigaret kretek tangan (SKT).

Terlebih, jumlah perokok di kalangan pendapatan rendah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perokok di kalangan penghasilan menengah tinggi.

"Menurut saya, yang utama adalah harga rokok yang sangat tinggi, juga dibarengi oleh budaya rokok sebagai alat sosial di masyarakat,” kata dia.

“Selain itu, penegakan hukum terhadap produsen rokok juga masih lemah," lanjut Wawan.

Terkait data rokok ilegal, survei yang dilakukan oleh Indodata selama periode 13 Juli hingga 13 Agustus 2020 di 13 kota provinsi di Indonesia mengungkapkan bahwa 28,12 persen dari 2.500 responden di Indonesia mengonsumsi rokok ilegal.

Direktur Eksekutif Indodata Danis TS Wahidin menjelaskan bahwa survei itu dilakukan untuk mengkaji hubungan antara tingginya cukai rokok resmi dan peredaran rokok ilegal.

Kenaikan harga rokok, kata dia, memengaruhi perilaku perokok, tapi tidak berhenti merokok.

“Yang terjadi adalah peralihan dari rokok premium ke rokok standar, bahkan masyarakat perokok itu berpindah menjadi mengonsumsi rokok ilegal," turur Danis beberapa waktu lalu.

Danis juga menambahkan bahwa jika konsumsi rokok ilegal tersebut dikonversi dengan pendapatan negara yang hilang, angkanya bisa mencapai Rp 53,18 triliun.

Temuan tersebut menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal masih menjadi masalah serius yang memerlukan perhatian lebih dari pemerintah.

“Hanya dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, masalah ini dapat diatasi secara efektif demi kesejahteraan ekonomi dan kesehatan masyarakat,” tambah Danis. (mcr4/jpnn)


Redaktur : Natalia
Reporter : Ryana Aryadita Umasugi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler