Jokowi dan Tanah Abang

Senin, 05 Agustus 2013 – 19:23 WIB

jpnn.com - MENDEKATI Lebaran atau Idul Fitri serta bulan puasa yang datang itu dibangun dalam sebuah intensitas, dan Jakarta menjadi tempat yang semakin sulit untuk dikelola. Pedagang tumpah ruah ke jalanan, pemblokiran jalan dimana-mana, sementara penumpang dan pejalan kaki resah dan menggerutu.

Pada saat-saat seperti ini campur tangan langsung dari pemimpin menjadi semakin penting. Jakarta –dan hampir semua kota – membutuhkan seseorang yang bersedia untuk melangkah maju dan berkata “sudah cukup”.

BACA JUGA: ArtJog 13

Dalam pengertian ini, masalah relokasi Pasar Tanah Abang menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo.  

Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat adalah tempat ikonik di ibukota. Terkenal dengan tekstilnya, pasar ini sudah ada di daerah tersebut sejak 1700an. Memang, Jalan KH Mas Mansyur merupakan salah satu jalur vital Jakarta yang menghubungkan utara dan selatan kota, serta lembaga keuangan negara, Bank Indonesia berlokasi.  

BACA JUGA: Mesir .

Pasar dan daerah sekelilingnya telah menjadi magnet bagi para pedagang asongan — khususnya selama Ramadan. Sebagaimana lazimnya keluarga-keluarga Muslim yang membeli pakaian baru dan kue-kue untuk Lebaran. Kemacetan lalu lintas kota yang bertambah parah seakan-akan seperti “Segitiga Bermuda”— tempat dimana waktu tampaknya berhenti. Ini semacam masalah yang akan pasti menyandung seorang kepala daerah yang kurang mumpuni dalam menawarkan solusi.

Sebagian besar para PKL ini berlatar belakang kurang mampu, banyak yang berdagang tidak tetap dengan harapan mendapatkan uang tambahan untuk Lebaran. Membujuk mereka untuk mengubah modus yang sudah dijalani bertahun-tahun tentu membutuhkan kebijaksanaan dan visi. Disamping PKL, terdapat kelompok-kelompok yang berkepentingan dari lokal, atau preman, hingga ke berbagai bisnis yang memang memiliki otoritas sendiri.

BACA JUGA: Ambon Manise

Jokowi, dihadapkan dengan tantangan yang sama ketika ia menjabat sebagai walikota Solo, Jawa Tengah. Pada bulan Desember 2005, ia meyakinkan kelompok PKL di Taman Banjarsari Solo untuk pindah ke pasar baru di Kithilan Semanggi.

Jokowi mampu melakukan ini — seperti yang Rushda Majeed tulis dalam studi kasus bulan Juli 2012 untuk program Princeton University’s Innovations for Successful Societies — dengan menyelenggarakan 50 kali pertemuan makan siang dengan PKL. Ini bukan hanya urusan satu belah pihak saja, sebagai walikota yang mendengar tuntutan PKL, Jokowi mengumpulkan data dan melakukan tawar-menawar yang alot. Ini adalah bentuk dari gaya kepemimpinan “blusukan” nya yang  sekarang populer di Jakarta.

Kilas balik dari dahulu hingga sekarang, Jokowi menangani masalah di Tanah Abang dengan teknik yang biasa ia lakukan di Solo; turun ke lapangan dan berbicara langsung dengan masyarakat. Apa yang dilakukan Jokowi saat ini tidaklah dianggap mudah — Jokowi dan wakilnya Basuki Tjahaja Purnama (“Ahok”) menuai kritik dari politisi lokal dan kelompok-kelompok yang menuduh mereka tidak memahami kebutuhan PKL.

Namun, kesabaran mereka tampak terbayarkan dan Basuki mengumumkan pada hari Selasa 30 Juli 2013 bahwa PKL di Tanah Abang telah setuju untuk pindah ke dekat Blok G, dimana sekitar 1.000 kios telah didirikan.

Kemampuan Jokowi untuk menyelesaikan masalah di Tanah Abang mungkin tampak tidak logis, tetapi sebenarnya ini merupakan langkah perubahan besar untuk negara. Ini membuktikan bahwa perubahan itu mungkin. Cara top-down itu kuno dan mubazir. Perubahan hanya dapat dilakukan ketika para pemimpin terlibat ke bawah dengan masyarakat.

Meskipun dikritik akan keefektifan blusukan, gaya Jokowi ini penting dalam memenangkan kepercayaan dan membangun modal sosial dalam masyarakat di mana saat ini tidak ada yang percaya pada politisi. Hubungan ini dapat digunakan untuk tujuan praktis, untuk memulai dan mendorong kebijakan-kebijakan yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat.

Misalnya, Jokowi juga berhasil membujuk penghuni liar di Pluit, Jakarta Utara, untuk pindah, membebaskan ruang untuk meningkatkan upaya pencegahan banjir.

Relokasi PKL Tanah Abang juga akan mengurangi kemacetan di Jakarta. Hasil-hasil ini tidak akan bisa dicapai jika Jokowi tidak melakukan blusukan.

Lebih penting lagi, blusukan tersebut memberikan kesempatan yang tidak terbatas dari rakyat untuk bertemu langsung pemimpinnya, dan pemimpin juga lebih memahami apa kemauan rakyat. Hal ini memungkinkan mereka untuk benar – benar memahami apa yang terjadi – dan ini sangat penting bagi keberhasilan pemerintah.

Dalam hal ini, Jokowi seperti Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura, gaya kepemimpinanya ingin terlibat dan memahami problem rakyat secara langsung. Tentu, Gubernur Jakarta ini jauh lebih demokratis dan konsensual daripada “the grand old man” dari Singapura.

Keberhasilan Jokowi dapat terjadi dengan baik karena ia mengetahui bahwa sentuhan pribadi dan sebuah komitmen dapat memberikan perubahan untuk sebuah komunitas, dan bahkan negara.[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menyalakan Ikon Jakarta


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler