jpnn.com - SEJUMLAH oknum anggota TNI dari Batalyon Infanteri 134 Tuah Sakti bentrok dengan anggota Brimob di di Tembesi, Batam, 21 September 2014. Ada kaitannya dengan pembekingan penimpun BBM ilegal. Seorang anggota TNI tertembak.
Sudah dibentuk tim penyelidik yang melibatkan kedua institusi bersenjata itu. Namun, "perang" pecah lagi, Rabu, 19 November 2014. Praka Joni Kusuma Marpaung (32) dari Yonif 134/Tuah Sakti, tertembak dan tewas.
BACA JUGA: Rela Cuti Kuliah demi Promosikan Indonesia
Hanya selang sehari, 20 November 2014, Brigadir Beni Sihombing (32), personel Brimob Polda Sumut, Detasemen A Binjai, meregang nyawa. Dia ditusuk seseorang, yang diduga seorang anggota TNI.
Ada apa ini? Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar melihatnya bukan semata masalah dendam. Staf pengajar di Program Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia itu menilai, sumber masalah cukup kompleks.
BACA JUGA: Honorer K2 Memang Masih Kabur
Lulusan Akabri Kepolisian (1971) itu melihat, ini terkait masalah inkonsistensi penegakan hukum, kesejahteraan prajurit, hingga urusan pembagian kewenangan.
Berikut wawancara wartawan JPNN Soetomo Samsu dengan Bambang Widodo Umar, yang juga staf pengajar program pasca sarjana di sejumlah universitas itu, termasuk di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), di Jakarta, kemarin (21/11).
BACA JUGA: Harapan Honorer K2 Meredup
Bagaimana pendapat Anda terkait kasus di Batam dan Binjai ini?
Saya melihat antara TNI dan Polri memang telah terjadi hubungan yang tidak baik yang berkepanjangan. Secara teoritis, ini bukan lagi masalah personal, tapi sudah menyangkut kelembagaan, soal kewenangan atau power.
Maksudnya bagaimana?
Ya, ini adalah konflik kewenangan. Ada yang merasa lebih dominan. Jika hal itu masih ada, maka tidak ada selesai konflik ini.
Apa yang harus dibenahi dalam hal pembagian kewenangan ini?
Pembagian kewenangannya sebenarnya sudah baik, dimana polisi bertanggung jawab untuk urusan keamanan dalam negeri, sedang TNI mengurusi pertahanan dan kedaulatan negara. Yang menjadi masalah, unsur-unsur atau aspek-aspek keamanan di dalam negeri itu cukup banyak dan belum terkonsepsi secara jelas. Ada polisi, ada Satpol PP, ada satpam, ada TNI AD, TNI AL, TNI AU, semua bisa masuk ke urusan keamanan. Di situ lah muncul persinggungan, muncul konflik. Mestinya dijabarkan secara detil urusan keamanan dalam negeri ini.
Apakah urusan kewenangan pengamanan yang belum jelas itu, lantas muncul beking-bekingan dan memicu konflik?
Iya. Tapi begini, untuk beking-bekingan oleh aparat tingkat bawah, baik itu oleh oknum TNI maupun polri, itu hanya menyangkut soal kesejahteraan. Mereka hanya mencari ceperan. Tapi yang gedhe-gedhe banyak. Mereka (oknum petinggi TNI/Polri), punya hubungan dengan perusahaan-perusahaan besar, ada beking di sana. Yang kecil-kecil itu hanya mencontoh yang gedhe-gedhe itu.
Apa solusi untuk beking-bekingan kelas kakap itu?
Ya harus ditindak tegas. Jangan didiamkan. Hukum harus ditegakkan. Untuk yang kecil-kecil, kalau pemerintahan Jokowi mau serius, ya tingkatkan kesejahteraan mereka. Aparat harus dilarang menjadi petugas pengamanan perusahaan. Di perusahaan itu sudah ada satpamnya, tidak perlu ada polisi atau anggota TNI.
Kembali ke kasus Batam dan Binjai, apakah ini ada kaitannya dengan kasus sebelumnya, pada 21 September?
Iya, ada kaitannya. Saya melihat pada cara penyelesaiannya. Cara penyelesainnya itu setengah-setengah, tidak serius, seperti sandiwara. Coba simak pengumuman tim penyelidik, masih pakai kata-kata Jiwa Korsa dan semacamnya. Kalau masih seperti itu, ya tidak akan tuntas.
Lantas, bagaimana cara penyelesaian agar tuntas?
Mestinya, hukum harus ditegakkan, salah ya bilang salah dan dihukum. Tim penyelidik mestinya independen, terdiri orang-orang independen, melibatkan Komnas HAM, LSM, dan pakar atau pengamat yang paham hukum. Jangan hanya diisi orang-orang dari kedua institusi yang bertikai. Boleh mereka menjadi anggotanya, tapi pimpinannya harus dari orang independen.
Selain proses hukum, apa lagi yang bisa menuntaskan konflik laten ini?
Saya lihat ada yang pakai olah raga bersama, itu hanya sandiwara. Upaya penyelesaian harus permanen. Kuncinya penegakkan hukum, siapa yang harus bertanggung jawab harus disanksi. Jangan hanya bawahan yang disanksi, tapi juga pimpinannya di tingkat daerah, termasuk kapolrinya juga harus dimintai pertanggungjawaban.***
BACA ARTIKEL LAINNYA... Masih Wajarkah Saya di LP?
Redaktur : Tim Redaksi