Penyelesaian Sengketa Pilkada Aceh Harus Mengacu UUPA

Jumat, 17 Maret 2017 – 16:44 WIB
Pilkada. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Tim sukses pasangab calon (paslon) Gubernur Muzakir Manaf meminta MK mempertimbangkan kekhususan Aceh dalam pelaksanaan dan penyelesaian sengketa Pilkada Aceh yang sedang diadili saat ini. Mereka juga mengimbau MK untuk selalu berpegang pada kekhususan Aceh dalam mengadili perkara-perkara Pengujian terhadap UUPA di kemudian hari.

Hal ini disampaikan Juru Bicara Tim Sukses Paslon yang juga Ketua DPR Aceh, Muharuddin ketika melakukan audiensi dengan Fraksi Partai Gerindra DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (17/3).

BACA JUGA: Ini Alasan Nasdem Dukung Kang Emil

Selain Tengku Muhanuddin, hadir pula Wakil Ketua Komisi I DPR Azhari Cage, Wali Kota Lhoekseumawe Suaidi Yahya dan Ketua DPRK Lhoekseumawe Yasir.

Menurut Muharuddin, Aceh merupakan daerah khusus yang diatur pula secara khusus melalui UU Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh (UUPA). Dalam hal pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan serentak di 101 daerah di seluruh Indonesia pada tahun 2017 dan khusus untuk Aceh dilaksanakan di 20 Kabupaten/kota serta Pemilihan Gubernur Aceh yang sudah dilaksanakan pada Februari 2017 haruslah mengacu pada UU Pemerintah Aceh.

BACA JUGA: UUPA dan MoU Helsinki Harus Jadi Rujukan

Di dalam ketentuan UUPA telah mengatur secara khusus menyangkut Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah mulai dari tahapan Pelaksana yang bersifat khusus yaitu Komisi Independen, peserta pemilih partai politik lokal dan Jalur perseorangan (independen) yang juga bersifat khusus. Selain itu, syarat pencalonan yang diatur juga secara khusus dalam Pasal 91 serta pelaksanaan dan penyelesaian perselisihan yang diatur juga secara khusus dalam Bab X bahagi kelima V Pasal 65 - 74.

Bahwa partai Aceh yang merupakan salah satu Partai Lokal yang menjadi amanat dari MoU Helsinki dan tertuang secara khusus dalam UUPA saat ini merupakan partai yang memiliki suara (Kursi) mayoritas di parlemen baik DPRA maupun DPRK, dan secara mayoritas Partai Aceh juga menguasai 12 bupati/walikota dari 23 Kab/Kota dalam Provinsi Aceh.

BACA JUGA: Balon Gubernur Ini Incar Mantan Dubes

Keberadaan UUPA merupakan satu ketentuan khusus yang mengatur tentang Aceh (Lex Spesialis Derogat Legi Generalis) dan kekhususan ini haruslah dipandang juga sebagai amanat dari Konstitusi sebagaiman tertuang dalm Pasal 18 B UUD 1945.

Dengan demikian bila Mahkamah Konstitusi (MK) dalam penyelesaian sengketa Pilkada Aceh tidak berpedoman pada UUPA, maka MK telah melakukan tindakan Inkonstitusional dan dalam hal yang lebih khusus Pemerintah Indonesia (Pusat) telah mengabaikan ke khususan Aceh yang merupakan konsensus dari perdamaian Helsinki yang telah disepakati dan ditandatangani Pada 15 Agustus 2005.

Jika itu dilakukan MK sama halnya dengan meniadakan keberadaan kami Partai Aceh yang merupakan Partai Mayoritas suara dalam Parlemen Aceh sebagai Partai Ilegal.

“Kedua kami mengimbau kepada Pemerintah Indonesia (pusat) untuk berkomitmen terhadap perjanjian damai yang telah disepakati bersama dengan Gerakan Aceh Merdeka pada 15 Agustus 2005 (MoU Helsinki).
Apabila hal ini tidak di indahkan maka Pemerintah Pusat dan MK benar telah meniadakan keberadaan peran dan fungsi Kami dan menganggap kami ilegal maka dengan demikian kami menyatakan mengundurkan diri dari jabatan kami di Parlemen dan Pemerintahan.(*/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Partai Amanat Nasional Makin Percaya Diri


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler