Untung saja Siobhan Joseph menyukai suhu dingin. Karena selama musim dingin, warga Sydney, Australia, ini tak mampu membayar biaya pemanas di tempat tinggalnya.

Perempuan berusia 57 tahun itu adalah penerima tunjangan pengangguran, yang biasanya disebut dengan 'Tunjangan Pencari Kerja', yang menghabiskan 80 persen tunjangannya untuk biaya sewa rumah.

BACA JUGA: Di Tengah Kenaikan Harga, Buah dan Sayur Ini Masih Terjangkau Warga Australia

Ia tinggal di Marrickville, sebuah daerah di sebelah barat daya Kota Sydney. Dari tunjangan A$774 per dua minggu (sekitar Rp7,7 juta), 600 dolar (sekitar Rp6 juta) di antaranya habis untuk sewa rumah.

"Jadi saya punya sisa uang sekitar A$174 per dua minggu untuk biaya kebutuhan lainnya," katanya kepada ABC News.

BACA JUGA: Kewalahan Mengurus Korban Gempa, Taliban Memohon Bantuan

Siobhan telah belajar bagaimana bertahan hidup dengan satu-satunya sumber penghasilan berupa tunjangan dari pemerintah, sejak kematian suaminya pada tahun 2020.

Kepada pemasok listrik langganannya, dia minta untuk dimasukkan ke dalam kategori pelanggan dengan kondisi khusus. Ia juga menggunakan jasa badan amal untuk pasokan makanan, dan terkadang meminjam uang dari teman-temannya.

BACA JUGA: Amerika Serikat Mulai Terapkan Larangan Impor Barang dari Xinjiang karena Pelanggaran HAM

Dia juga mengenakan pakaian berlapis selama musim dingin ini demi menghindari penggunaan listrik untuk pemanas udara di rumahnya.

"Meskipun kedengarannya agak kontradiktif, saya mengalami kelebihan berat badan, karena pola makan yang tidak baik, cenderung menimbun karbohidrat, pasta, nasi dan lainnya," katanya.

Siobhan mengaku berada dalam daftar tunggu untuk mendapatkan perumahan sosial bersubsidi selama dua setengah tahun terakhir. Kini dia khawatir bisa menjadi tunawisma.

"Tapi saya merasa sangat beruntung. Saya tahu ada orang lain yang kondisinya jauh lebih buruk," ujarnya. Jumlah rumah terjangkau menyusut

Sebuah laporan dari salah satu organisasi penyewa rumah (RAHU) pada bulan Februari lalu menyebut 91 persen klien mereka mengalami tekanan akibat biaya sewa rumah.

Laporan bernama Roofs For Ransom ini mengambil data hingga Oktober 2021, sebelum inflasi memuncak.

Data Biro Statistik Australia menyebut penyewa menghabiskan lebih dari 30 persen pendapatan rumah tangga untuk biaya sewa.

Ketua RAHU Eirene Tsolidis Noyce kepada ABC News menjelaskan data lembaganya menunjukkan rata-rata sewa bulanan telah meningkat A$250 (sekitar Rp2,5 juta) tahun ini.

"Meningkatnya biaya hidup, stagnasi upah dan kenaikan harga sewa telah menjadi masalah besar dalam enam bulan terakhir," katanya.

Penyewa menghadapi tiga pukulan sekaligus, yaitu harga sewa dan biaya kebutuhan pokok yang meningkat, serta semakin langkanya rumah sewa yang harganya terjangkau.

Dia mengatakan banyak penyewa yang mengaku terpaksa melewatkan makan, tidak lagi mampu membeli obat-obatan, serta menunggak pembayaran tagihan listrik.

RAHU menyatakan penyewa tidak bisa begitu saja pindah ke tempat lain karena kurangnya properti yang terjangkau di perkotaan dan wilayah regional.

"Agen real estate menyebutkan persediaan rumah sewa masih banyak. Tapi masalahnya bukan hanya jumlah yang tersedia, melainkan harga sewanya yang tak terjangkau," ujarnya Eirene.

RAHU mendesak pemerintah negara bagian dan federal untuk mengadopsi peraturan tentang biaya sewa yang berlebihan, batas kenaikan sewa serta sewa yang harus dikaitkan dengan upah minimum. Utang kian memberatkan

Menurut National Debt Helpline, salah satu konselor keuangan, kini semakin banyak pemintaan konseling dari klien yang kesulitan membayar sewa rumah.

National Debt Helpline sendiri selalu menekankan kepada kliennya bahwa sewa dan makanan harus diprioritaskan di atas semua pengeluaran lainnya.

"Ada hak sebagai klien yang mengalami kesulitan dalam membayar utang atau tagihan listrik," ujar Kirsty Robson, salah seorang konselor.

"Sewa rumah harus menjadi prioritas untuk dibayar," tambahnya.

Kistry mengatakan tekanan finansial dapat membahayakan kesehatan fisik seseorang.

"Hal pertama yang harus dilakukan adalah selalu berusaha memenuhi kebutuhan makanan secara konsisten," katanya.

"Mereka biasanya melewatkan makan demi membayar utang," jelasnya.

Namun, dia mengatakan kekhawatiran soal keuangan juga dapat berimplikasi pada kesehatan mental. Terpaksa hanya tinggal di rumah

Seorang pensiunan di Kota Adelaide, Elaine (tak bersedia disebutkan nama lengkapnya), mengalami kesulitan ini sehingga harus banyak tinggal di rumah saja.

Wanita berusia 67 tahun itu menjalani kehidupan yang sangat tenang di unit pinggiran kota, tapi bukan karena pilihannya sendiri.

Dia menghabiskan lebih dari setengah uang pensiun untuk sewa unit tersebut. Tekanan kenaikan biaya hidup, katanya, membuatnya tidak punya uang cukup untuk menikmati hidup atau menabung.

"Saya terpaksa hanya tinggal di rumah karena tidak ada lagi yang tersisa untuk dibelanjakan," katanya.

"Kami mendapatkan kenaikan uang pensiun sebesar A$20. Tapi apa yang terjadi? Harga bensin dan makanan juga naik," tuturnya.

Elaine mengaku khawatir karena masa sewa rumahnya berakhir pada Agustus nanti sehingga dia menerima tawaran perumahan sosial.

Biaya sewa di perumahan sosial adalah setengah dari sewa yang dia bayar saat ini.

Dia mengaku senang bila teman-temannya mengajak makan siang di luar, dan dia bisa mengiyakannya karena punya kemampuan untuk membayar makanan.

"Pemerintah harus memahami bahwa krisis perumahan itu nyata. Mereka tampaknya mengabaikannya dan tidak mengeluarkan uang untuk perumahan umum. Berhenti membangun stadion dan mulailah membangun rumah yang terjangkau," tutur Elaine.

 

Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Umat Islam Australia Terpukul Melonjaknya Ongkos Naik Haji dan Sistem Undian

Berita Terkait