jpnn.com, BEKASI - Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menegaskan, pembangunan Gereja Katolik Santa Clara hanya bisa dihentikan atas perintah hukum. Pasalnya, perizinan gereja tersebut dikeluarkan melalui proses hukum.
Politikus Golkar itu pun meminta masyarakat untuk dapat menghormati perbedaan keyakinan satu sama lainnya.
BACA JUGA: Buih Putih di Kali Bekasi Berasal dari Perusahaan Ini
“Yang pertama kalau rumah ibadah kebutuhan nyata warga, dalam peraturan menteri pasal 13 ayat 1 itu ada bahwa membangun rumah ibadah itu adalah kebutuhan nyata. Di Bekasi Utara itu ada 33.000 non Muslim, Katolik ada 7.000. Nah berarti belum ada Gereja Katolik, karena kebutuhan nyata kita bangun,” katanya di Kantor Kecamatan Bekasi Utara, Kamis (30/3).
Pembangunan Gereja Katolik Santa Clara, lanjut Pepen sapaan akrab Rahmat Effendi, telah melewati proses musyawarah yang panjang. Bahkan dalam Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida), proses itu telah dikembalikan kepada masyarakat.
BACA JUGA: Bekasi Kukuhkan Tim Saber Pungli
“Biar yakin betul. Dan proses itu bukan pemerintah saja, ada Forum Kerukunan umat Beragama (FKUB), Kemenag, RT dan RW. Kalau ada provokasi bahwa gereja itu bukan di wilayah RT atau RW, namun itu kan masih ada di satu kelurahan,” tutur dia.
Lagipula, kata Pepen, jumlah jemaat Gereja Santa Clara yang menyetujui juga melampaui batas yakni hingga 90 jiwa. Sedangkan jumlah jemaat yang menandatangi ada sekitar 200 jiwa, ditambah dengan 64 orang warga setempat yang menyetujui dari jumlah minimal 60 jiwa.
BACA JUGA: Gara-Gara Urusan Sepele, Tega Lempar Teman ke Kali
Pepen juga menepis isu yang beredar di kalangan masyarakat bahwa pembangunan Gereja Katolik Santa Clara akan menjadi rumah ibadah terbesar se-Asia Tenggara yang didirikan di Kota Bekasi.
Kenyataanya, kata dia, meski luas tanah yang ada mencapai 6.500 meter persegi, yang digunakan untuk gereja hanya 1.500 meter persegi.
“Ya kita ini pemerintah harus transparan enggak ada yang ditutupi. Enggak ada yang dimanipulasi karena ini kebutuhan nyata di Bekasi, ada 34 ribu non muslim dari 2,4 juta (data BPS). Jadi kalau dibilang pemalsuan, dekat dengan lingkungan, apa ada persoalan bangun gereja atau masjid di dekat lingkungan? aturanya mana? dan itu ada di luar lingkungan,” terang dia.
Mengenai tuntutan para demonstran untuk menghentikan pembangunan Gereja Santa Clara, Pepen mengaku tidak bisa mengamininya. Apalagi dengan adanya kesepakatan yang terjalin dari warga dan pemerintah Kota Bekasi.
Namun kata Pepen, pemerintah Kota Bekasi mempunyai komitmen untuk membebaskan hak beragama, yang akhirnya secara ketentuan hukum, kesepakatan itu tidak bisa menghentikan pembangunan Gereja tersebut.
“Coba tanya ke praktisi hukum, kesepakatan itu bisa mengalahkan keputusan hukum tidak? kecuali ada perintah pengadilan, keputusan sela bahwa IMB ditangguhkan. Kalau cuma menyatakan, jangankan wali kota, presiden pun tidak akan bisa, itu produk hukum negara,” tegasnya.
Pepen mengungkapkan, proses pendirian Gereja Katolik Santa Clara sudah didasari oleh surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan sudah mencapai 60 persen pembangunan. Hal ini kata dia, masyarakat muslim tidak dapat menganggap pembangunan Gereja Santa Clara itu berstatus quo.
Status qou yang di tegaskan oleh para demonstran belum dapat dipastikan. Kecuali, sambung Pepen, produk pembangunan berupa Surat Ijin Persetujuan Mendirikan Bangunan (SIPMB) pada pembangunan Gereja Santa Clara itu belum dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bekasi.
“Jadi tidak bisa kalau dianggap status quo, kecuali produknya belum keluar, loh ini produk sudah keluar. Mereka demo itukan setelah SIPMB dikeluarkan, jadi kalau bilang pembangunan Gereja Santa Clara itu ilegal, itu resmi nggak ada yang bisa nyetop itu,” papar dia.
Pepen juga mengatakan, jika massa terus melakukan demonstrasi terhadap pembangunan Gereja Katoltik Santa Clara, itu sama saja melakukan pelanggaran terhadap hak orang lain.
“Mereka melanggar hak orang lain loh, nah enggak boleh ditolerin. Saya tidak bela rumah ibadah tertentu, tetapi saya sebagai kepala daerah harus ‘khoiru ummur auwsatuha’, saya harus berdiri di semua golongan, berdiri di semua umat,” kata dia.
Sejauh ini, Pepen mengaku, tidak ada gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap pembangunan Gereja Santa Clara. Dia pun tidak mau mencabut izin pembangunan Gereja Santa Clara sebelum ada putusan dari pengadilan.
“Saya bukan tidak mau cabut, karena apa-apa. Tetapi saya hanya tunduk perintah hukum, kalau ditemukan sekarang ini ada pemalsuan ya laporkan saja polisi, ada (pelanggaran) administrasi ya silakan ke PTUN saja. Pemerintah memberikan hak hukum kepada masyarakat. Sehingga kota yang multi etnik ini, yang plural ini sama-sama menghormati (perbedaan keyakinan) satu sama dengan lain,” tandasnya. (kub/gob)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tuding Ada Manipulasi dalam Proses Perizinan Gereja
Redaktur & Reporter : Adil