Peradi Jakbar Gelar Webinar Untuk Dorong Pembuatan UU Keadilan Restoratif

Rabu, 27 Juli 2022 – 00:21 WIB
Ketua DPC Perad Jakbar Suhendra Asido Hutabarat. Foto: Dok Peradi Jakbar

jpnn.com, JAKARTA BARAT - DPC Peradi Jakarta Barat (Jakbar) menggelar webinar dengan tajuk mekanisme dan strategi penyelesaian perkara melalui restorative justice berdasarkan peraturan perundang-undangan dan sistem peradilan pidana terpadu (SPPT) di Indonesia.

Ketua DPC Peradi Jakbar Suhendra Asido Hutabarat mengatakan webinar itu diikuti 500 peserta yang berasal dari advokat, mahasiswa, dan masyarakat umum.

BACA JUGA: Peserta PKPA DPC Peradi Jakbar Tembus 1.000 Orang dalam Setahun

“Kami terus melakukan pendidikan berkelanjutan, bahkan kami melaksanakan webinar internasional juga, melibatkan pemateri dari luar negeri,” kata dia dalam siaran persnya, Selasa (26/7).

Asido menuturkan dalam webinar itu mereka mendorong pembuatan undang-undang untuk memperkuat penerapan keadilan restoratif yang tengah giat dilakukan lembaga penegak hukum.

BACA JUGA: Peradi Gandeng Universitas Bhayangkara Gelar Pendidikan Khusus Advokat

Ketua Bidang Kajian dan Perundang-Undangan DPN Peradi Nikolas Simanjuntak yang jadi salah satu narasumber mengatakan idealnya harus ada undang-undang, namun untuk membuatnya membutuhkan waktu lama.

Nikolas menjelaskan saat ini KUHP belum mengatur soal restorative justice.‎ Untuk itu, pemerintah dalam RUU KUHP sudah memasukkannya.

BACA JUGA: Eks Ketua Pengadilan Tinggi Palembang Dilantik Jadi Anggota Peradi

“Di RUU KUHP sekarang tujuan pemidanaan tidak ada untuk menghukum tetapi untuk memasyarakatkan, untuk menyelesaikan rasa bersalah, sehingga menjadi masyarakat yang baik,” katanya. 

Menurut dia, KUHP memang belum mengatur hal tersebut, tetapi penegak hukum, yakni Polri, kejaksaan, dan pengadilan bisa melakukan restorative justice mengacu pada ketentuan UUD 1945 serta ketentuan peraturan masing-masing lembaga.

“Dasarnya itu UUD. Sekarang ada peraturan Kapolri, peraturan jaksa agung,” ujarnya. 

Berdasarkan Pasal 8, 70, dan 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa tanggung jawab negara harus dilakukan oleh pemerintah.

“Artinya, kalau tidak dilakukan, salah. Restorative justice tadi dasarnya UU, Polisi wajib menjunjung HAM itu, kemudian UU HAM. Polisi jangan ragu-ragu melaksanakan restorative juatice,” ujarnya. 

Head of Business Law Department Binus University Ahmad Sofian mengatakan satu-satunya UU yang memberikan definisi tentang restorative justice, itu ada di dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni Pasal 1 angka 6. 

Menurutnya, perlu UU yang lebih tegas karena jika restorative justice sudah dilakukan, keputusannya belum berkekuatan hukum tetap.

Polri menghentikan suatu kasus dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sedangkan jaksa menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).

“SP3 polisi dan penghengtian penuntutan (SKP2) bisa dipraperadilankan, tidak ada kepastian hukum, sehingga harus ada UU,” ujarnya.

Kasubbid Sunluhkum Bidkum Polda Metro Jaya AKBP Adri Desas Furyanto menambahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mencanangkan restorative justice dan Kapolri menyambutnya dengan menerbitkan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Perpol tersebut mengatur syarat‎ umum dan khusus perkara yang bisa diterapkan restorative justice.

“Jadi, kalau sudah masuk kategori restorative justice, tetapi penyidik tidak melakukannya, selesai, ada sanksi kode etik,” katanya. (cuy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Otto Hasibuan: Perayaan Iduladha Jadi Momentum Peradi Untuk Berbagi


Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler