Perang Dagang AS-Tiongkok Memanas

Senin, 13 Mei 2019 – 21:04 WIB
Ilustrasi peti kemas. Foto: Frizal/Jawa Pos

jpnn.com, WASHINGTON - Yang dikhawatirkan terjadi juga. Presiden AS Donald Trump memerintahkan kenaikan tarif barang-barang dari Tiongkok yang sebelumnya tidak kena tambahan tarif alias pajak. Kebijakan itu ditengarai bakal memukul industri dan rumah tangga di AS sendiri.

"Perselisihan ini harus kami atasi. Saya tidak bisa hanya duduk di sini dan menangis." CEO Emerson Electric David Farr menyatakan hal itu kepada para pemegang saham Selasa (7/5), dua hari setelah Presiden AS Donald Trump mengancam akan menaikkan tarif produk-produk Tiongkok dari 10 persen menjadi 25 persen. Begitu pengumuman dibuat, saham perusahaan turun hingga 6 persen.

BACA JUGA: Perang Tarif AS Vs Tiongkok Pecah Lagi

Kala itu Farr dan para pelaku industri lainnya masih bisa berharap kenaikan tidak jadi dilakukan. Sebab, jika jadi, tentu saja itu akan memukul biaya produksi perusahaannya. Imbasnya, mau tak mau dia harus menaikkan barang-barang produksinya. Dengan kata lain, membebankan kenaikan tarif itu kepada para konsumen.

BACA JUGA: Mengulas Dampak Perang Dagang AS vs Tiongkok Bagi Indonesia

BACA JUGA: Cerita Saksi Mata Tentang Kekejaman Tiongkok di Kamp Uighur, Mengenaskan

Sayang, harapan para pelaku industri tidak menjadi kenyataan. Alih-alih ada solusi, Trump justru memutuskan menaikkan pajak produk-produk asal Tiongkok yang sebelumnya tak tersentuh tambahan tarif.

"Presiden memerintah kami untuk memulai proses menaikkan tarif semua sisa barang impor dari Tiongkok yang nilainya sekitar USD 300 miliar (Rp 4,3 kuadriliun)," ujar Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer sebagaimana dikutip Agence France-Presse.

BACA JUGA: Poker Catur

Padahal, kurang dari 24 jam sebelumnya, AS sudah menaikkan tarif produk-produk Tiongkok senilai USD 200 miliar (Rp 2.858 triliun). Jika dulu tarif atau pajak masuknya 10 persen, kini angkanya menjadi 25 persen. Mayoritas adalah produk-produk tekstil, onderdil, dan komponen elektronik. Kenaikan itu lebih memukul perusahaan.

Lighthizer mengungkapkan bahwa detail proses kenaikan tersebut akan diungkap ke publik besok (13/5). Namun, dia menegaskan bahwa butuh waktu beberapa bulan sebelum diberlakukan.

Tarif baru senilai Rp 4,3 kuadriliun itu mayoritas adalah kebutuhan sehari-hari. Misalnya saja telepon genggam, tas, baju, sepeda, helm, parfum, sampo, seprai, dan berbagai kebutuhan rumah tangga lainnya.

Kebijakan kenaikan tarif yang baru itu muncul setelah pembicaraan antara AS dan Tiongkok yang berakhir Jumat (10/5) tidak membuahkan hasil. Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin, Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu He, dan Lighthizer bertemu selama dua jam sebelum akhirnya tak mencapai kesepakatan apa pun.

Banyak pihak masih berharap ada solusi konkret agar perang dagang dua negara bisa berakhir. Harapan itu masih ada karena sebelum tarif baru diberlakukan, Trump sempat mencuit bahwa pembicaraan hubungan dagang dua negara berlangsung konstruktif.

"Hubungan antara Presiden Xi Jinping dan saya tetap kuat," kata presiden ke-45 AS itu di akun Twitter pribadinya. Menurut dia, penambahan tarif produk-produk AS bisa dihapus atau justru tetap seperti saat ini. Itu semua bergantung negosiasi selanjutnya.

Berdasar penelitian yang dilakukan Trade Partnership terungkap bahwa kenaikan tarif 25 persen plus kebijakan tambahan pajak untuk impor baja dan aluminium bakal membuat peluang kerja di AS berkurang 934 ribu. Beban kebutuhan untuk satu keluarga yang terdiri atas empat orang bakal bertambah USD 767 (Rp 10,9 juta) per tahunnya.

Nah, tambahan tarif 25 persen pada produk-produk yang sebelumnya tak terjamah tambahan pajak bakal membuat 2,1 juta pekerjaan menghilang. Rata-rata keluarga dengan empat orang anggota bakal bertambah pengeluarannya hingga USD 2 ribu per tahun atau setara Rp 28,6 juta.

Bagaimanapun, Tiongkok belum menyerah. Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu He menegaskan, meski tanpa hasil, pembicaraan berlangsung produktif. Dua pihak akan bertemu lagi di Beijing. Waktunya belum ditentukan. Yang jelas, Tiongkok tidak akan membuat perubahan pada hal-hal yang dipegang teguh sebagai prinsip.

"Negosiasi belum berakhir. Ini hanyalah perputaran normal dalam negosiasi dua negara dan tak bisa dihindari," tegasnya. (Siti Aisyah/c17/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perundingan Dagang AS - Tiongkok di Ujung Tanduk


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler