jpnn.com - Ekonomi global dunia dikuasai oleh tiga institusi besar, yaitu IMF (Dana Moneter Internasional), Bank Dunia, dan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia).
Tiga institusi itu begitu powerful dan full power dalam mengendalikan ekonomi dunia sampai disebut sebagai ‘’The Unholy Trinity’’, atau Trinitas yang tidak keramat.
BACA JUGA: Dave Laksono: Calon Panglima TNI Harus Memahami Ancaman Perang Digital
Sebutan itu diciptakan oleh ekonom Amerika Joseph E. Stiglitz untuk menggambarkan dominasi yang begitu kokoh terhadap ekonomi dunia.
Ketiga institusi itu menguasai dan mengatur ekonomi dunia sejak selesai perang dunia pada 1940-an.
BACA JUGA: Pengembangan Ekonomi Digital Bisa Bikin PDB Capai Rp 24 Ribu Triliun Pada 2030
Tiga institusi itu merupakan simbol dari kemenangan kapitalisme global atas sistem ekonomi lain seperti komunisme dan sosialisme.
Semasa periode perang dingin, kapitalisme global masih punya pesaing, terutama dari Uni Soviet.
BACA JUGA: Pemerintah Maksimalkan Dukungan untuk Platform Digital dan UMKM
Akan tetapi, setelah Uni Soviet bubrah pada 1990 tidak ada lagi pesaing bagi kapitalisme global.
Unholy Trinity mengapling kekuasaan atas ekonomi dunia sebagai hasil dari pampasan perang.
Tiga institusi itu sama-sama berkantor pusat di Washington dengan pembagian tugas dan kewenangan yang merata.
IMF menjadi kewenangan Eropa dan pemimpinnya selalu berasal dari Eropa.
Bank Dunia dan WTO menjadi domain Amerika Serikat.
Sampai sekarang tiga institusi itu tetap menjadi yang terkuat dan paling berpengaruh di dunia.
Karena semua berpusat di Washington, maka muncul istilah ‘’Kesepatakan Washington’’ atau Washington Consensus yang berintikan kebijakan ekonomi neo-liberal yang berpangkal pada mekanisme pasar berdasarkan prinsip laissez faire dan privatisasi, serta peran pemerintah yang minimal.
Ketika ekonomi dunia bergeser kearah ekonomi digital sebagai hasil dari revolusi internet, maka sentra kekuatan ekonomi tetap tidak bisa bergeser jauh dari Amerika.
Ekonomi digital seharusnya malahirkan kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat seluruh dunia untuk bisa berpartisipasi secara setara.
Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Amerika tetap mendominasi ekonomi digital dunia, karena Amerika sampai sekarang tetap menjadi penguasa teknologi digital yang belum tergoyahkan.
Kalau Stiglitz menyebut Unholy Trinity di dunia ekonomi global, maka di dunia ekonomi digital pun muncul The Unholy Trinity baru yang juga menguasai ekonomi digital dunia.
Tiga institusi itu adalah Facebook, Google, dan Amazon atau FGA. Facebook menguasai media sosial, Google menguasai mesin peramban atau search engine, dan Amazon menjadi raja e-commerce.
Trio FGA menjelajah seluruh dunia dan nyaris tidak ada yang bisa menghalangi dominasinya. Penjajahan ala imperialisme dan kolonialisme sudah tidak ada lagi di dunia. Namun, penjajahan digital menjadi jenis penjajahan baru menggantikan kolonialisme dan imperialisme konvensional.
Akibatnya terasa di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Beberapa waktu belakangan ini, Pemerintah Indonesia sedang terlibat perang digital melawan tiga platform raksasa FGA itu, khususnya Facebook dan Google. Pemerintah Indonesia ingin agar dua institusi itu mendaftar sebagai PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) di Indonesia, tetapi tidak digubris. Pemerintah Indonesia mencoba menekan, tetapi tetap tidak digubris. Perusahaan raksasa itu ingin bebas dan tidak mau diatur-atur oleh siapa pun di seluruh dunia. Pemerintah memutuskan tenggat waktu sampai 20 Juli, tetapi sampai hari ini tenggat itu tidak mempan.
Pemerintah mengancam akan memblokade dan menghentikan operasional platform digital itu di Indonesia. Akan tetapi, ancaman itu tidak mudah diterapkan karena posisi tawar platform itu sangat kuat.
Untuk melihat betapa besar ketergantungan kita terhadap platform-platform media sosial bisa dilihat dari data pengguna di Indonesia. Pengguna media sosial di Indonesia mencapai 191,4 juta pada Januari 2022.
Angka ini meningkat 21 juta atau 12,6 persen dari tahun 2021. Angka ini setara dengan 68,9 persen dari total populasi di Indonesia. Sebagai perbandingan, jumlah penduduk di Indonesia kini mencapai 277,7 juta hingga Januari 2022.
Daftar media sosial paling populer di Indonesia, yang puncaknya diduduki oleh YouTube. Jumlah pengguna YouTube di Indonesia mencapai 139 juta orang atau setara 50 persen dari total penduduk selama 2022. Iklan YouTube ini menjangkau 46,9 persen pengguna perempuan, sementara 53,1 persen sisanya adalah pengguna laki-laki
Pengguna Facebook di Indonesia mencapai 129,9 juta pada awal 2022. Angka ini didapatkan dari sumber jangkauan iklan Facebook ke pengguna Indonesia. Dengan demikian, persentase pengguna Facebook di Indonesia setara dengan 46,8 persen dari total jumlah penduduk pada awal 2022.
Jangkauan iklan Facebook ke pengguna yang dibagi berdasarkan gender. Iklan Facebook menjangkau 44 persen pengguna perempuan, sementara 56 persen sisanya adalah pengguna laki-laki
Jumlah pengguna Instagram di Indonesia mencapai 99,15 juta orang atau setara 35,7 persen dari total populasi.
Dari jangkauan iklan Instagram, ada 52,3 persen audiens adalah pengguna perempuan, sementara 47,7 persen sisanya adalah laki-laki.
Jumlah pengguna TikTok di Indonesia mencapai 92,07 juta pada 2022 dengan pengguna yang berusia 18 tahun ke atas.
Indonesia merupakan negara dengan pengguna WhatsApp terbanyak ketiga di dunia.
Jumlah pengguna WhatsApp di Indonesia mencapai 84,8 juta pengguna pada Juni 2021.
Posisi Indonesia diapit oleh Brasil dan Amerika Serikat dengan jumlah pengguna WhatsApp masing-masing sebanyak 118,5 juta pengguna dan 79,6 juta pengguna.
India menempati posisi pertama dengan jumlah pengguna WhatsApp mencapai 487,5 juta pengguna.
Di posisi kelima, ada Rusia dengan 67 juta pengguna. Setelahnya ada Meksiko dan Jerman masing-masing sebanyak 60 juta pengguna dan 49,2 juta pengguna.
Italia tercatat memiliki 36,9 juta pengguna WhatsApp. Kemudian disusul oleh Spanyol dengan 32,2 juta pengguna, dan Argentina 26,5 juta pengguna.
WhatsApp menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia dalam membagikan berita. Sebuah riset menemukan bahwa 60 persen responden mengatakan membagi berita lewat WhatsApp. Selain WhatsApp, 46 persen respons masyarakat Indonesia juga banyak membagikan berita lewat YouTube. Sementara 42 persen masyarakat memilih membagikan berita melalui Facebook dan 38 persen memilih membagikan berita lewat Instagram.
WhatsApp menjadi media sosial terfavorit para pengguna internet di seluruh dunia. Ada 24,1 persen responden yang menyukai WhatsApp dibandingkan dengan platform lainnya.
Sebanyak 21,8 persen responden global memilih Facebook sebagai media sosial paling favorit. Angka itu tidak jauh berbeda dengan Instagram yang dipilih oleh 18,4 persen responden. Sebagai informasi, WhatsApp dan Instagram merupakan anak perusahaan dari Facebook.
Facebook masih menjadi salah satu media sosial yang banyak digunakan masyarakat Indonesia.
Jumlah pengguna media sosial itu nomor dua terbesar di Asia, setelah India.
Pengguna Facebook di Indonesia mencapai 175,3 juta pada akhir Maret 2021.
Angka tersebut setara dengan 63,4 persen dari total populasi yang mencapai 276,36 juta jiwa (estimasi 2021) atau 82 persen dari pengguna internet di Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar di dunia bagi Facebook.
Hal ini terlihat dari jumlah pengguna aplikasi media sosial tersebut yang mencapai 140 juta pengguna per Juli 2021.
Jumlah pengguna Facebook di Indonesia tersebut berada di peringkat ketiga di dunia.
Peringkat pertama dan kedua masing-masing diduduki oleh India sebanyak 340 juta pengguna dan Amerika Serikat sebanyak 200 juta pengguna.
Brasil berada di bawah Indonesia dengan jumlah pengguna Facebook sebanyak 130 juta pengguna.
Lalu, Meksiko dan Filipina menyusul dengan masing-masing jumlah pengguna sebanyak 98 juta pengguna dan 88 juta pengguna.
Facebook merupakan salah satu media sosial yang paling banyak digunakan penduduk dunia.
Tercatat, ada lebih dari 2,85 miliar pengguna aktif bulanan aplikasi tersebut.
Per Juli 2021, ditemukan bahwa 98,5 persen pengguna aktif mengakses akun Facebook mereka dari perangkat seluler.
Data itu cukup jelas untuk menunjukkan betapa lemah posisi pemerintah vis a vis platform-platform digital itu.
Jadi, jika pemerintah akan memblokir WhatsApp, Facebook, YouTube, dan rekan-rekannya, yang bakal protes duluan adalah jutaan pengguna di Indonesia.
Perang digital sudah ada di depan mata, dan Indonesia terlihat gagap menghadapinya. (*)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror