Perbankan Berebut Devisa Hasil Ekspor

Layanan Trustee Belum Optimal JOGJAKARTA -

Senin, 25 November 2013 – 05:50 WIB

jpnn.com - JOGJAKARTA - Perbankan di tanah air makin agresif untuk mengikat dana hasil ekspor (DHE). PT Bank Mandiri (persero) Tbk misalnya, membukukan bisnis DHE hingga  USD 41,9 miliar atau sekitar Rp 48,54 triliun sejak awal tahun hingga September 2013.

Direktur Komersial dan Bisnis Perbankan Bank Mandiri Sunarso mengatakan, dibandingkan periode yang sama tahun lalu, pertumbuhan penerimaan DHE tersebut mencapai 2 persen. Komoditas masih mendominasi penerimaan DHE. Seperti hasil pertambangan, minyak sawit, dan karet.

BACA JUGA: Hary Tanoe Kepul Saham

"Market share ekspor energi hingga September 31,3 persen dari keseluruhan ekspor. Kalau kita lihat, ekspor nasional mencapai USD 134 miliar," ungkapnya akhir pekan lalu (23/11).

Meski pertumbuhan DHE cukup positif, Sunarso menilai capaian penerimaan tersebut masih belum optimal. Sebab, investor cenderung mempertimbangkan unsur keamanan dan permasalahan perpajakan yang dianggap jadi hambatan. Dalam hal pajak, menurut dia, perlu ada sejumlah penambahan atau revisi regulasi perpajakan.
       
"Kalau kita pakai referensi negara lain, mereka ada graduasi dalam memperlakukan devisanya. Misalnya tahun pertama membukukan omzet USD 100 juta, maka pakaknya sekian persen. Tahun kedua omzet naik, bisa diturunin pajaknya. Bahkan kalau (omzet) naik lagi dikasih medali," paparnya.

BACA JUGA: Telkom Harus Terbuka soal Rencana Melepas Anak Usaha

Seperti diketahui, awal tahun ini Bank Indonesia (BI) mengubah regulasi penempatan DHE melalui Peraturan BI (PBI) nomor 14/25/PBI/2012. Beleid tersebut mewajibkan penerimaan DHE setiap eksporter adalah melalui bank devisa di dalam negeri, meskipun ada perjanjian dalam kontrak untuk menggunakan bank luar negeri jika menerima DHE.

Sayangnya, aturan penempatan DHE di bank dalam negeri ini seolah tak bergigi. Investor khususnya dari sektor migas merasa tidak mendapatkan untung. Berbeda dengan penempatan DHE di negara lain yang mempunyai benefit dari jasa trustee atau pengelolaan dan penitipan aset. Melalui pola itu, DHE bisa dikelola oleh perbankan, misalnya dimasukkan sebagian ke instrumen-instrumen investasi.

BACA JUGA: BNI Usung Konsep Life Partner

BI pun menerbitkan PBI nomor 1417/PBI/2012 tentang kegiatan usaha bank berupa penitipan dengan pengelolalan (trust). Pascaterbitnya peraturan tersebut, menurut Sunarso, seharusnya lebih bisa mengikat DHE untuk masuk ke tanah air.

Akan tetapi hingga kini banyak eksporter yang masih ragu menggunakan jasa ini, lantaran trustee tidak dibuat berdasarkan undang-undang seperti yang ada di negara lain. "Padahal kalau PBI sudah cukup ya kenapa nggak. Nanti mungkin perlu ada effort-effort lain," terangnya.

Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Darmin Nasution mengakui bahwa penarikan DHE ke dalam negeri tidak bisa seratus persen. "Mungkin hanya bisa 80-85 persen. Karena 15 persennya sudah tersandera di luar negeri," jelasnya.

Darmin mengungkapkan, biasanya pengusaha di dalam negeri seperti pertambangan, memiliki perjanjian hasil ekspor dengan investor asing. Yakni hasil tambang harus ditaruh di bank asing. "Setelah dibagi, baru uang itu balik ke dalam negeri. Itu yang membuat DHE tidak bisa balik seratus persen," paparnya.

Di satu sisi, PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk (BNI) optimistis bisnis trustee akan berkembang. Hal ini terlihat dari portofolio volume transaksi pembayaran migas BNI per September 2013 yang mencapai Rp 97,46 triliun.

Direktur Utama BNI Gatot M. Suwondo mengatakan, pihaknya akan memperkuat sinergi dengan industri migas lokal untuk pelayanan jasa trustee domestik. Salah satunya melalui perjanjian trustee paying agent agreement (TPAA). "Kami yakin dapat bersaing dengan bank asing dalam layanan trustee domestic ini," jelasnya. (gal/sof)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... PT Pos Bertransformasi ke Pospay


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler