Dibukanya kembali perbatasan internasional justru menimbulkan kekhawatiran sejumlah kota di dunia. Mereka berusaha membuat aturan agar jumlah turis yang datang tidak terlalu banyak.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengatakan dua tahun pandemi telah melumpuhkan industri pariwisata di seluruh dunia. Aktivitas perjalanan turun 70 persen dibandingkan tahun 2019.
BACA JUGA: Gawat! 8 Wilayah di Kaltim Masuk Zona Merah Covid-19
Di tahun 2021, perjalanan wisata hanya meningkat 45 persen, lebih tepatnya sekitar 15 juta orang, dibandingkan di tahun 2020.
Namun ketika perbatasan internasional mulai dibuka kembali saat ini, beberapa kota dan negara justru tidak menginginkan banjirnya wisatawan seperti masa sebelum pandemi.
BACA JUGA: Menkes Budi: Mayoritas Pasien Covid-19 yang Meninggal Belum Divaksin
Mulai dari Kyoto sampai Barcelona, inilah persiapan yang dilakukan berbagai negara menyambut para pelancong kembali. Kyoto, Jepang
Sejak awal pandemi, pejabat di bekas ibu kota Jepang ini sudah ingin mengurangi jumlah turis yang datang ke sana.
BACA JUGA: Presiden Ukraina Menganggap Enteng Peringatan Invasi Rusia
Walikota Kyoto Daisaku Kadokawa mengatakan di tahun 2020, "Kyoto bukanlah kota turis".
"Kami tidak akan kembali ke pariwisata seperti di masa pra-corona," katanya.
Aya McKinley, manajer Hotel Machiya Fukune, mengatakan kepada ABC walau sudah tak sabar menunggu turis kembali ke Kyoto dan Jepang, dia berharap turis akan berperilaku lebih sopan dan menghormati budaya setempat.
Dia mengatakan sebelum pandemi, banyak warga di sana mengeluhkan begitu banyaknya turis asing menggunakan transportasi umum sehingga warga setempat tidak mendapatkan tempat duduk.
Menurutnya, perilaku beberapa turis yang dianggap buruk juga menjadi masalah bagi warga lokal.
Namun Aya McKinley menambahkan sebenarnya hanya sedikit saja turis asing yang berperilaku buruk.
"Saya kira kami hanya ingin mereka lebih mengerti budaya Kyoto dan mengikuti aturan yang ada," katanya.
Organisasi Pariwisata Jepang mengatakan negara tersebut terus mempromosikan daerah-daerah wisata yang belum banyak dikunjungi dan kegiatan luar ruangan untuk mengatasi banyaknya turis yang datang. Bali, Indonesia
Di Bali, kalangan industri wisata sudah bersiap menerima kembali para pelancong internasional dan lebih menerima kedatangan dibandingkan tempat-tempat lainnya.
Sejak Jumat lalu (04/02) Bali sudah dibuka kembali bagi turis yang sudah mendapatkan vaksinasi dua kali.
Pengunjung akan terlebih dahulu menjalani karantina selama lima hari di salah satu dari lima hotel mewah di Bali.
"Semua orang sudah menunggu-nunggu. Pariwisata adalah tulang punggung perekonomian Bali," kata manajer restoran Kadek Miharjaya.
Menteri Koordinator Investasi dan Masalah Maritim Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan tahun lalu bahwa pemerintah Indonesia hanya menginginkan "turis yang berkualitas" ketika provinsi tersebut dibuka kembali.
"Kami ingin turis berkualitas datang ke Bali, jadi kami tidak mengizinkan backpacker baru ketika Bali dibuka kembali untuk perjalanan internasional dalam waktu dekat," kata Luhut seperti yang dikutip The Bali Sun.
Namun juru bicara Kementerian meluruskan pemberitaan tersebut.
"Maksudnya bukan seperti itu. Yang kami maksud adalah pengunjung yang tidak mematuhi aturan soal kesehatan, hukum dan imigrasi," kata juru bicara itu kepada Kompas. Praha, Republik Ceko
Wali kota Praha juga menyampaikan kekhawatiran mengenai kembalinya turis dalam jumlah besar, dengan 8 juta orang berkunjung ke kota tersebut sebelum pandemi setiap tahunnya.
Pada Oktober 2020, Praha menerapkan strategi wisata baru dengan harapan adanya keseimbangan bagi manfaat ekonomi dengan kedatangan turis dengan kebutuhan warga lokal.
"Terlalu banyak orang hanya ingin sekadar datang tanpa perlu sekali dan mereka yang mengambil keuntungan dengan kehadiran turis memperburuk situasi," kata Walikota Pavel Cizinsky di tahun 2019.
Dinas Wisata Kota Praha mengatakan kepada ABC bahwa pusat kota tersebut menjadi sesak sehingga mengganggu akses layanan bagi warga setempat.
Warga juga mengeluhkan perilaku anti sosial dari para turis yang mabuk.
Pavel Cizinsky mengatakan ingin mengurangi jumlah turis yang berkunjung dari satu bar ke bar lain, membatasi jam penjualan alkohol, dan mendorong turis mengunjungi bagian lain dari kota tersebut yang masih jarang dikunjungi.
"Kami tidak ingin membuka bar. Kami tidak ingin warga asing dari seluruh Eropa datang untuk pesta alkohol," kata Andfrej Babis, Perdana Menteri Ceko di tahun 2021.
Selain mendorong turis untuk tidak sekadar mengunjungi tempat minum alkohol di pusat kota, Dinas Wisata Kota Praha mengatakan mereka ingin mengumpulkan lebih banyak data untuk memahami apa yang diinginkan para turis.
Ceko adalah salah satu negara dengan tingkat kematian tertinggi di dunia karena COVID-19.
Menurut John Hopkins University, lebih dari 37.600 orang meninggal di negara tersebut karena corona sejak awal pandemi. Venice, Italia
Selama pandemi, warga Venize bisa melakukan kegiatan di pusat wisata tersebut tanpa mendapat banyak gangguan dari turis.
Sebelum pandemi, kota di Italia tersebut dikunjungi sekitar 25 juta warga setiap tahunnya.
Namun jumlah sebanyak itu saja sudah menimbulkan kekesalan dari warga setempat yang kemudian meninggalkan kota tersebut dan menyisakan 50 ribu warga, jauh lebih sedikit dari tahun 1950-an di mana ada sekitar 170 ribu orang.
Fenomena ini sekarang disebut "overtourism" — di mana jumlah turis di suatu destinasi melebihi jumlah warga lokal sehingga memaksa warga lokal untuk pindah.
Untuk mengurangi jumlah turis, pengunjung harian ke kota tersebut akan dikenai biaya masuk sebesar Rp170 ribu.
Wali kota Venice Luigi Brugnaro mengatakan biaya tersebut akan membuat jumlah turis yang datang lebih bisa diatur.
"Saya memperkirakan adanya protes, gugatan hukum dan yang lain. Namun saya memiliki tugas membuat kota ini layak dihuni bagi mereka yang tinggal di sini dan juga bagi mereka yang berkunjung," katanya bulan September lalu.
Brugnaro mengatakan mereka belum menentukan berapa jumlah turis maksimal yang bisa diterima kota tersebut dan kapan aturan tersebut akan diterapkan. Namun diperkirakan akan berlaku di tahun 2022 atau awal 2023.
Pengunjung akan memerlukan "kartu hijau" sebagai tanda bukti vaksinasi untuk bisa masuk ke toko, dan "kartu hijau super" sebagai bukti sudah mendapatkan 'booster' untuk bisa masuk ke restoran dan tempat-tempat lain. Amsterdam, Belanda
Amsterdam adalah kota lain yang berharap akan mengurangi jumlah turis yang berperilaku buruk.
Pihak berwenang sudah berusaha mengurangi turis yang mabuk atau yang tidur di mobil mereka dan meningkatkan patroli di kawasan yang ramai khususnya di akhir pekan, kata media setempat.
"Kami tidak ingin kembali ke situasi yang kita lihat sebelum pandemi di mana turis dalam jumlah besar mendatangi kawasan hiburan malam di pusat kota yang membuat warga setempat tidak nyaman," kata seorang pejabat kota praja Amsterdam tahun lalu.
"Pengunjung yang menghormati Amsterdam dan warganya akan selalu disambut dengan baik dan akan tetap begitu."
"Pengunjung yang memperlakukan warga setempat dengan buruk dan bersikap tidak hormat, tidak akan diterima.
Tom van der Leij, pemilik perusahaan wisata Belanda bernama Toms Travel Tours, mengatakan Amsterdam harus beralih dari model wisata di mana Amsterdam menjadi "sebuah kota besar terbuka dengan segala atraksinya".
Sebagai warga Amsterdam, van der Leij mengatakan kota tersebut tidak dibangun untuk menerima kedatangan turis dalam waktu bersamaan.
Dia secara khusus menyebut kelompok turis dalam jumlah besar yang datang selama satu dua hari dan memberikan kontribusi ekonomi minim bagi lokal.
"Mereka tidak memiliki kecintaan dengan kota ini, mereka tidak memberikan kontribusi keuangan, jadi tidak bayar pajak dan ini merupakan pelecehan terhadap kota ini," katanya.
Dia mengatakan Amsterdam harus berubah dan bergerak ke arah pariwisata yang berkesinambungan.
Belanda baru-baru ini mengumumkan pelonggaran pembatasan COVID walau kasus terutama Omicron terus meningkat. Barcelona dan Mallorca, Spanyol
Warga di kota Barcelona dilaporkan tidak puas dengan keadaan di kota tersebut yang menerima kedatangan sekitar 27 juta orang pengunjung setiap tahun dengan 50 persennya bermalam satu hari di sana di tahun 2014.
Kota berpenduduk 1,3 juta tersebut sudah lama mengalami masalah perumahan, dan meningkatnya kedatangan turis membuat masalah semakin memburuk karena menyewakan tempat untuk turis mendapat penghasilan lebih besar dibandingkan ke warga lokal.
Bulan Mei tahun lalu, otoritas wisata Barcelona mengeluarkan aplikasi untuk turis yang bisa menunjukkan secara langsung apakah sebuah tempat wisata sedang ramai.
CEO Tourism Barcelona Eduard Torres mengatakan bahwa aplikasi tersebut akan memperkuat "kesinambungan" di tengah bertambahnya kedatangan pelancong demi mencegah penumpukan orang di tempat-tempat yang populer.
Alfonso Rodríguez Badal, Walikota Calvia — sebuah kota berpenduduk 50 ribu di pulau Mallorca — mengatakan pariwisata setelah pandemi di kotanya harus berfokus pada keberlanjutan lingkungan, ekonomi dan sosial.
"Kita tidak bisa terus mengukur pariwisata dari berapa juta orang yang datang per tahunnya," kata Badal.
"Juga bahwa indikasi tersebut harus meningkat dari tahun ke tahun."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News
Yuk, Simak Juga Video ini!
BACA ARTIKEL LAINNYA... 35.722 Anak Jadi Yatim Akibat Orang Tuanya Terpapar Covid-19