Clarissa Ardelia sebenarnya sempat tidak yakin dengan keputusannya untuk memulai studi jurusan Ilmu Data di University of Melbourne sesegera mungkin di bulan Maret tahun 2020 lalu.
Dia pun sadar bahwa waktu itu, rencananya untuk datang ke Australia di bulan Juni tidak akan terlaksana.
BACA JUGA: Dexter Kruger Jadi Pria Tertua di Australia, Berapa Usianya?
"Saya sempat consider (menimbang) apa lebih baik saya mengambil program sekolah di bulan Oktober?" katanya.
"Tapi setelah dipikir-pikir, karena takut mengulur waktu dan daripada saya menganggur beberapa bulan, ya sudah lah tidak apa-apa [ambil kelas lebih awal]."
BACA JUGA: Melbourne Kerahkan Perempuan Multibudaya untuk Sebarkan Informasi mengenai Vaksinasi COVID-19
Menjelang Oktober, orangtua Clarissa yang memiliki rencana untuk pergi ke Australia mendorongnya untuk mengajukan visa pelajarnya, meski tahu bahwa perbatasan internasional masih ditutup.
Dia mengeluarkan biaya sebesar A$630 atau sekitar Rp6,9 juta untuk visa pelajar yang berlaku hingga 15 Maret 2024.
BACA JUGA: Kapal Nelayan Indonesia Tenggelam di Australia Barat, 20 Awaknya Selamat
"Kami pikir nanti juga siapa tahu perbatasan dibuka, kan [bisa] langsung [pergi], tidak perlu urus-urus lagi," katanya.
Namun, tanda-tanda pembukaan perbatasan belum muncul bahkan hingga Clarissa menyelesaikan program Foundation di Trinity College secara online selama enam bulan.
Walau demikian, Clarissa mengatakan tidak menyesal telah mengeluarkan biaya untuk visa pelajar.
"Karena memang untuk jaga-jaga nanti ketika perbatasannya buka," katanya.
Dia hanya menyayangkan keharusan untuk kuliah online yang menurutnya tidak lebih interaktif dibandingkan pertemuan tatap muka di kelas.
"Karena saya sebenarnya kuliah di Australia karena menginginkan experience (pengalaman) nya dan mau merasakan ada di sana, tapi sekarang harus online ... jujur kurang efektif, sih, kurang dapat apa-apa," katanya.
Dalam pidato anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) Australia yang disampaikan hari Selasa (11/05), perbatasan internasional menurut perkiraan tidak akan dibuka sampai pertengahan tahun 2022.
Namun, naskah APBN tersebut mencatat kemungkinan mahasiswa internasional datang lebih cepat, di samping warga Australia pemegang visa permanen dan temporer yang akan didatangkan "secara bertahap".
"Sejumlah kecil kedatangan mahasiswa internasional secara bertahap akan dimulai di akhir tahun 2021 dan semakin meningkat di tahun 2022," demikian tertulis dalam naskah APBN. 'Sewaktu-waktu buka, tidak perlu menunggu'
Walau belum ada waktu yang pasti kapan perbatasan akan segera dibuka, Departemen Dalam Negeri Australia masih memberikan visa pelajar bagi mahasiswa internasional yang mengajukan dari luar Australia.
Salah satu mahasiswa yang menerima visa pelajarnya Maret 2021 lalu Stefanus Wicaksono, yang selama hampir delapan bulan terakhir mengikuti kelas online dari rumahnya di Jakarta.
Ketika mendengar kabar bahwa masa darurat biosekuriti akan diperpanjang sampai 17 Juni 2021 meski masih belum ada tanggal pasti pembukaan perbatasan, dia memutuskan untuk mengajukan visa pelajar agar bisa masuk Australia.
Menurut Stefanus, proses yang dilaluinya juga terhitung singkat. Visanya dikabulkan dalam waktu tiga hari.
Padahal umumnya, waktu proses 75 persen visa pelajar bisa mencapai 69 hari sementara 90 persen aplikasi bisa memakan waktu empat bulan.
Visa Stefanus akan berlaku hingga bulan Maret 2023, beberapa bulan setelah kelulusannya yang seharusnya jatuh pada akhir tahun 2022.
Walau sudah memegang izin tinggal di Australia, mahasiswa Monash College di Melbourne tersebut masih bersabar menunggu waktu dibukanya kembali perbatasan internasional.
"Kalau sewaktu-waktu [perbatasan buka], saya tidak [perlu] menunggu visa approval dulu, bisa langsung [pergi]," katanya. Puluhan ribu visa pelajar diberikan pada pendaftar di luar Australia
Menurut data Departemen Dalam Negeri Australia, sebanyak 64.645 visa pelajar diberikan kepada pendaftar yang berada di luar Australia, dari periode akhir 2020 hingga 31 Maret 2021.
Di periode yang sama, sebanyak 1.282 visa pelajar diberikan kepada pendaftar dari Indonesia yang berada di luar Australia.
Kepada ABC Indonesia, departemen tersebut mengatakan meski sudah memegang visa pelajar, mahasiswa belum diizinkan untuk masuk Australia dan "aturan perbatasan perjalanan tetap berlaku bagi siswa yang tidak mendapatkan pengecualian masuk".
Namun, pihaknya mengakui tetap memberikan visa pada mahasiswa di luar Australia.
"Pemberian visa kepada mahasiswa internasional di luar Australia (yang memenuhi syarat) memungkinkan siswa untuk memulai studi mereka secara online dan memberikan kepastian bahwa mereka boleh masuk ke Australia ketika sudah diizinkan, berdasarkan rekomendasi kesehatan dan saat perbatasan perjalanan telah dilonggarkan," kata juru bicara departemen tersebut. Persyaratan visa tergantung kebijakan universitas
Kebijakan persyaratan visa pelajar bagi mahasiswa internasional untuk bisa mengikuti perkuliahan online juga diberikan ke masing-masing institusi.
University of Melbourne, misalnya, dalam website-nya hanya mensyaratkan visa pelajar untuk mahasiswa internasional yang mendaftar program master dan doktoral.
"Anda memerlukan persetujuan dari Fakultas dan visa yang valid untuk memulai program pascasarjana secara online, kecuali jika Anda adalah mahasiswa doktoral dari program gabungan antara Universitas Melbourne dan universitas mitra, dan memulainya di institusi mitra tersebut."
Sementara untuk program sarjana, visa pelajar belum diperlukan selama aturan pembatasan masih berlaku.
"Pelajar tidak perlu memiliki visa pelajar untuk jika menempuh perkuliahan online di luar Australia saat pembatasan perjalanan masih diberlakukan."
"Anda perlu mengajukan aplikasi visa pelajar saat aturan pembatasan perjalanan telah dihapus, atau saat Pemerintah Australia sudah mengumumkan tanggal pasti penghapusan pembatasan tersebut, jika Anda ingin datang ke Melbourne untuk meneruskan studi."
Namun, universitas lain seperti Universitas Griffith di Queensland dan University of New South Wales tidak secara eksplisit menuliskan persyaratan visa untuk mahasiswa internasional yang berada di luar Australia untuk jenjang atau program apa pun.
Rata-rata institusi pendidikan hanya "merekomendasikan agar pelajar internasional memiliki visa pelajar" untuk mengantisipasi pembukaan pembatasan. Minat datang ke Australia masih tinggi
Hingga saat ini, agen konsultasi pendidikan Studyzone di Jakarta masih menerima permintaan pengajuan visa pelajar dari mahasiswa yang hendak kuliah di Australia.
Menurut Janto Sugiharto So, pemilik agen konsultasi tersebut, beberapa klien masih optimistis terhadap pembukaan perbatasan internasional Australia.
"Bagi klien yang masih optimis ... mereka semua sudah diproses student visa (visa pelajar)nya dan [ada yang] sudah mendapatkan," kata Janto kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
Janto juga mengatakan permintaan kuliah ke Australia "masih tinggi di masa COVID-19 ini".
"Karena semua masih optimis pandemi akan segera berakhir dan perkuliahan tatap muka bisa berjalan seperti dulu lagi," kata Janto.
Namun, dari pengalamannya, beberapa mahasiswa membatalkan rencana untuk kuliah di Australia karena menghindari kelas online.
"Beberapa [calon mahasiswa] memilih untuk belajar di Indonesia dan Amerika atau Inggris, yang perbatasannya buka," kata pemilik agen konsultasi yang seluruh kliennya berasal dari Indonesia tersebut.
Saat menunggu perbatasan kembali dibuka, Stefanus juga sempat berpikir untuk melanjutkan kuliahnya di Indonesia.
"Kadang berpikir, 'coba kuliahnya di Indonesia saja, sudah capek [kuliah online]," katanya.
"Tapi kalau perbatasan sudah dibuka ya senang-senang saja, karena bisa langsung ke sana."
Sementara itu, Clarissa mengatakan bersedia membayar biaya karantina hotel 14 hari di Victoria sebesar A$3,000 atau sekitar (Rp32 juta) demi bisa datang ke Australia.
"Kalau bisa ke sana [Australia], kenapa tidak?" kata Clarissa yang berharap agar perbatasan juga segera dibuka bagi seluruh mahasiswa internasional.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Indonesia Hentikan Sementara Penggunaan Vaksin AstraZeneca Batch CTMAV547