Pemerintah Jepang kini menganggap masalah turunnya tingkat kelahiran sebagai hal yang perlu ditangani, namun dengan sedikitnya perempuan di ranah politik, beberapa di antaranya mulai lantang bersuara di media sosial.

Tahun lalu, angka kelahiran di Jepang berada di bawah 800 ribu, jumlah kelahiran terendah yang pernah tercatat dalam sejarah negara berpenduduk 125 juta tersebut.

BACA JUGA: Bagaimana Dua Orang Ayah di Australia Memiliki Seorang Anak dari Ibu Pengganti

Perdana Menteri Fumio Kishida memperingatkan pola ini menimbulkan pertanyaan tentang "apakah Jepang bisa terus berfungsi sebagai sebuah komunitas."

Ia juga mengatakan perhatian dunia akan masalah ini sudah menimbulkan perdebatan besar di berbagai media dalam negeri.

BACA JUGA: Rencana Pembuangan Limbah PLTN Jepang Ditentang, Bahayanya Sangat Nyata

Salah satunya tentang bagaimana jumlah perempuan berusia di atas 50 yang tidak pernah memiliki anak di Jepang merupakan yang tertinggi di kalangan 38 negara maju yang tergabung dalam OECD.

Perdebatan ini kemudian mengakibatkan munculnya istilah baru dengan hashtag "life-long childlessness", atau tidak punya anak seumur hidup.

BACA JUGA: Lepas 246 Peserta Magang ke Jepang, Menaker Ida: Bisa Kurangi Angka Pengangguran

Tomoko Okada mengatakan sudah lama merasa "malu" karena tidak memiliki anak, dan ragu-ragu untuk ikut dalam perdebatan di Twitter, karena khawatir dengan kemungkinan munculnya berbagai kritik terhadap dirinya.

Namun yang diterimanya justru perasaan simpati dan dukungan, dengan perempuan lain turut menceritakan mengapa mereka tidak berkeluarga atau dalam beberapa kasus memilih untuk tidak memiliki keluarga atau anak.

"Saya dulu sangat mendukung pendapat bahwa melahirkan adalah hal yang normal dilakukan," kata penulis lepas berusia 47 tahun tersebut kepada AFP.

Tomoko sudah pernah mencoba biro jodoh untuk menemukan pasangan namun tidak berhasil dan merasa bersalah ketika ayahnya bertanya mengenai cucu ketika mereka bertemu merayakan Hari Ayah.

Namun dengan mengirim posting di media sosial dan membaca tulisan orang lain yang bersimpati kepadanya membuat Tomoko merasa "hidupnya juga baik-baik saja selama ini."'Begitu banyak kritikan'

Rendahnya tingkat kelahiran sudah menjadi masalah umum di kalangan negara-negara maju, namun masalah ini lebih parah lagi di Jepang.

Negara tersebut kini memiliki populasi tertua kedua di dunia setelah Monako, sementara aturan yang relatif ketat tentang imigrasi membuat negara tersebut kekurangan pekerja.

Perdana Menteri Fumio Kishida sudah menjanjikan kebijakan untuk membantu keluarga, termasuk bantuan keuangan, akses lebih mudah bagi pengasuhan anak, dan cuti melahirkan bagi orang tua.

Namun dengan perempuan hanya 10 persen di keanggotaan parlemen, dan di dalam kabinet 19 menteri Kishida hanya ada dua perempuan, yang banyak terlibat dalam perdebatan ini adalah pria.

Ini membuat kalangan perempuan tidak mendapatkan perhatian dan bahkan mendapat banyak kritik.

"Jangan salahkan perempuan atas rendahnya tingkat kelahiran," tulis Ayako di Twitter, warga Tokyo berusia 38 tahun yang tidak memiliki anak.

Dia menggunakan hashtag "various choices" atau berbagai pilihan, dan mengatakan bahwa peran gender tradisional di Jepang telah menjadi sumber masalah.

Survei yang dilakukan pemerintah pada tahun 2021 menemukan bahwa perempuan Jepang menghabiskan waktu empat kali lebih banyak dari pria dalam urusan rumah tangga dan membesarkan anak, dibandingkan suami yang bahkan bekerja dari rumah sekali pun.

Ayako berani menulis online namun mendapat banyak kritik ketika berbicara tentang gender dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya dia menolak mengungkapkan nama keluarganya.

"Susah sekali menyampaikan pendapat kita di dunia nyata," katanya.

"Saya merasa perempuan mendapat begitu banyak kritik hanya karena mereka menyampaikan pendapat."

Sementara di media sosial "Saya kadang terkejut menemukan orang lain yang memiliki pandangan yang sama".Suara yang gagal masuk ke ranah politik

Yuiko Fujita, profesor studi gender dan media di Meiji University mengatakan media sosial sudah menjadi ruang bagi perempuan untuk mendiskusikan masalah politik dan sosial tanpa kekhawatiran karena bisa melakukannya secara anonim.

Namun menurut Fujita, diskusi yang sudah ada di media sosial memiliki dampak terbatas.

"Sayang sekali tidak banyak suara dari kalangan perempuan ini yang mencapai ranah politik," katanya.

Para pakar mengatakan menurunnya tingkat kelahiran di Jepang merupakan masalah yang rumit dengan berbagai akar permasalahan.

Hanya 2,4 persen kelahiran di Jepang terjadi di luar perkawinan, angka terendah dari 38 negara OECD, angka yang sering dikaitkan dengan norma konservatif dan sistem keuangan yang lebih mendukung sistem keluarga.

Beberapa yang lain mengatakan ekonomi jadi penyebab, dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi di Jepang selama belasan tahun terakhir sehingga membuat banyak keluarga takut memiliki anak.

Perubahan kebijakan seperti misalnya perluasan fasilitas pengasuhan anak bisa membantu meningkatkan kelahiran namun kenaikan itu kadang hanya bersifat sementara, kata Takumi Fujinami dari Institut Penelitian Jepang.

Selain masalah kesetaraan dalam urusan rumah tangga, dia mengatakan "stabilitas ekonomi jangka panjang dan kenaikan pendapatan adalah faktor kunci".

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ratusan Pengungsi Rohingya Tiba di Aceh Setelah Ditawari Tarif Biaya Untuk Perahu

Berita Terkait