jpnn.com, SAMARINDA - Perempuan muda, sebut saja Yuniar (26), memegang selembar kertas yang di bagian atasnya tertulis akta cerai. Awal Juli lalu, jadi langkah barunya. Perempuan satu anak itu resmi berpisah dengan suami yang menikahinya sejak 2014.
Bagi Yuniar, cerai adalah pilihan akhir. Ketika semua upaya telah habis. Berbicara dengan nada lembut hingga keras, jadi usaha dia dan mantan suaminya menyelesaikan konflik. Keluarga pun disertakan untuk membantu, tetapi tidak membuahkan hasil.
"Masalahnya banyak. Tetapi, lebih ke masalah ketidakcocokan kami. Puncaknya pisah rumah hampir setahun ini. Anak ikut sama saya," ungkap perempuan yang bekerja di bidang pemasaran tersebut.
BACA JUGA: Pengakuan Begal Sadis: Dapat Tas Isinya Hanya Celdam dan Kondom
Yuniar memilih berpisah. Bagi dia tidak ada yang bisa dipertahankan. Suaminya pun telah lama tak menafkahinya.
Kisah Yuniar hampir sama dengan rumah tangga lain di Samarinda yang kandas. Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Kelas I-A Samarinda Muhammad Rizal mengatakan, dalam tiga bulan terakhir setidaknya ada sekitar 80 kasus perceraian yang disebabkan oleh faktor ekonomi.
BACA JUGA: Pintu Kamar Hotel Dibuka Paksa, Petugas Langsung Terperanjat
BACA JUGA: Surat Edaran Kemendikbud: Ortu Siswa Diimbau Ikut Upacara HUT ke-74 RI
"Selain itu, 89 kasus perceraian disebabkan meninggalkan salah satu pihak, seperti pergi dari rumah tanpa pamit," jelasnya.
BACA JUGA: Sehari, Dua Kali Kebakaran Lahan di Samarinda, 17 Hektare sudah Ludes Terbakar
Dia menambahkan, perceraian mayoritas diajukan perempuan yang berusia 25–35 tahun. Perempuan kini lebih berdaya. Mereka berani menggugat cerai jika pernikahan tidak lagi harmonis atau menerima kekerasan.
Mereka tidak takut lagi bakal kurang nafkah. Sebab, mereka bisa bekerja dan menafkahi diri serta anaknya sendiri.
Dari kacamata psikologi, kasus perceraian banyak pemicunya. Psikolog Yulia Wahyu Ningrum mengatakan, perceraian di Kota Tepian jamak diakibatkan masalah finansial, orang ketiga, hingga kekerasan.
“Untuk perekonomian, biasanya karena penghasilan istri lebih tinggi dari suami. Ada juga karena penghasilan kurang, namun tuntutan penampilan harus selalu oke untuk kebutuhan media sosial," ujar direktur Biro Psikologi Mata Hati tersebut.
BACA JUGA: Presiden Jokowi: Pemerintah Siapkan Anggaran Gaji PPPK dan Perangkat Desa
Tak ada yang ingin menikah berujung perceraian. Maka, ketika ingin menikah, harus benar-benar menyiapkan diri. Mulai mental, finansial, termasuk memahami karakter pasangan.
“Ketika ada masalah pun, harus diselesaikan sampai tuntas dengan kepala dingin. Jangan mengedepankan emosi,” tutupnya. (*/dar/ljkp/nyc/dns/k8)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Begal Sadis Beraksi, Tangan Ibu Pengendara Motor Ditebas hingga Begini
Redaktur & Reporter : Soetomo