Pensiunan bintang basket Australia, Lauren Jackson, mengatakan, pemain basket perempuan terjebak dalam siklus yang menyedihkan, membuat ketimpangan gender dalam olahraga ini sulit untuk dipecahkan.

Bahkan di Amerika Serikat, Lauren mengatakan, perbedaan dalam hal gaji sungguh "luar biasa" dan masalah ini -bahkan bagi para pemain top seperti peraih gelar pemain terbaik 3x berturut-turut di Liga Basket Perempuan AS -menjadi sesuatu yang bisa ditebak.

BACA JUGA: Jejak Seni Tanah Liat Bantu Lacak Jalur Perdagangan Kuno Warga Aborijin

Mantan pemain basket berusia 34 tahun itu mengatakan, sebagai akibat dari gaji yang kurang, atlet perempuan terpaksa untuk bermain sepanjang tahun dan di seluruh dunia agar bisa hidup nyaman, namun menyebabkan cedera yang mengancam karir.

"Itulah masalah dengan olahraga perempuan dan mengapa kami semua terluka dan sakit karena kami harus bermain 12 bulan dalam setahun sehingga kami bisa menghasilkan uang untuk hidup," ujar hanya beberapa jam setelah mengumumkan pensiun karena cedera lutut parah.

BACA JUGA: Setahun Terakhir 3300 Paramedis di Australia Alami Serangan Kekerasan

Ia menyambung, "Padahal laki-laki, mereka bermain satu musim dan mereka baik-baik saja. Mereka bisa istirahat, mereka bisa merehabilitasi tubuh mereka. Kami tak pernah punya waktu untuk melakukannya. Akan baik jika ada perubahan."

Sepanjang tahun 2007-2014, Lauren –yang mengaku "sangat takut terbang" -membagi waktunya antara Seattle, Canberra, Rusia, Spanyol, Korea Selatan dan China, di mana ia mendapat cedera ligamen di tahun 2013.

BACA JUGA: Gadis Brisbane Ini Susun Daftar Keinginan Terakhir untuk Anjingnya yang Sekarat

Ia mengatakan, basket laki-laki dan perempuan tak akan menarik perhatian atau prestise yang sama untuk "waktu lama".

"Saya tak yakin dalam hidup saya, kami akan menjadi setara dengan basket pria, kami tak akan pernah mendekati apa yang diraih pemain pria," tuturnya.

Mantan pemain Olimpiade 4x ini memaksa dirinya untuk bermain ketika cedera parah dan menunda sejumlah tujuan hidupnya, seperti menyelesaikan universitas dan memiliki anak sepanjang karir yang membentang hampir 20 tahun.

"Perempuan harus mengorbankan banyak hal untuk menjadi atlet profesional," akunya.

Ia menuturkan, "Mereka tak bisa punya bayi, menikah, punya anak, dan kemudian kembali dan bermain. Dan saya pikir itu sesuatu yang sulit. Pria, mereka tak harus benar-benar khawatir tentang itu. Saya ingin punya anak, jadi saya bersemangat tentang hal itu."

Salah satu mantan rekan setim Lauren, yakni Abby Bishop, dipaksa mundur dari tim ‘Opals’ di tahun 2014 karena sengketa anak.

Abby mengantongi hak asuh penuh atas anak kakaknya, Zala, dan Persatuan Basket Australia (BA) mengharuskannya membayar untuk penerbangan, akomodasi dan tur anak.

Setelah negosiasi panjang, Abby bergabung kembali di skuad itu akhir tahun lalu, dan mengatakan: "Mereka pasti akan membantu saya dalam beberapa macam cara, apakah itu penerbangan atau membayar untuk pengasuh saya.”

"Zala akan selalu menjadi yang pertama, tapi saya benar-benar bahagia, dan saya menghormati Persatuan Basket Australia karena mengevaluasi kembali itu," ungkapnya.

Itu bukan pertama kalinya badan olahraga di Australia telah menghadapi tuduhan yang berkaitan dengan bias gender.

BA juga dibuat kebakaran jenggot setelah menerbangkan tim pria ke Olimpiade London dengan kelas bisnis, sedangkan pemain perempuan terbang dengan kelas ekonomi.

Sebuah kebijakan perjalanan yang netral gender sejak saat itu telah diberlakukan.

"Itu salah satu yang cukup mudah untuk diperbaiki. Kami mendapatkan sejumlah besar uang pembayar pajak ... jadi saya pikir, rata-rata pria dan perempuan di jalan akan percaya bahwa kami akan menggunakan dana tersebut dengan setara ketika menyangkut hal-hal seperti perjalanan," kata kepala eksekutif BA, Anthony Moore.

BACA ARTIKEL LAINNYA... 80% Perempuan Australia Gunakan Nama Suami Setelah Menikah

Berita Terkait