jpnn.com - MARY Jane Fiesta Veloso, 30, warga Filipina, merupakan satu di antara 10 terpidana mati yang menunggu eksekusi di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Dia ternyata masih menjalani sidang peninjauan kembali (PK) kasusnya di Pengadilan Negeri Sleman.
--------------
Laporan Yogi Isti Pujiaji, Jogja
-------------
BACA JUGA: Pakai Jurus Batu Akik Bujuk Orangtua Supaya Mau Menyekolahkan Anak
TERPIDANA mati kasus penyelundupan 2,61 kilogram heroin itu tidak bisa menyembunyikan rasa gelisahnya. Selama sidang lanjutan PK yang digelar di Pengadilan Negeri Sleman, Daerah Istimewa Jogjakarta, kemarin (4/3), Mary Jane lebih sering tertunduk. Entah apa yang dipikirkan.
Bisa jadi, dia gelisah karena memikirkan hari H eksekusi matinya yang semakin dekat. Sebab, bila pengajuan PK-nya ditolak hakim, eksekusi tinggal menunggu waktu.
BACA JUGA: Mengapa Harus Eksis Merebut Pasar di Messe Berlin?
Dari wajahnya, terlihat Mary tidak terlalu paham dengan arah sidang yang berlangsung. Sebab, sidang menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan terpidana adalah warga Filipina yang tidak pernah belajar bahasa Indonesia. Mary mengaku hanya bisa mengerti bahasa Indonesia sedikit-sedikit.
Hal itu juga tampak saat Ketua Majelis Hakim Marliyus SH meminta rohaniwan Pastor Bernhard Kieser memandu Mary untuk berdoa sebelum sidang. Saat itu, terpidana perempuan yang mengenakan kemeja bercorak garis-garis dan celana jins biru tersebut diminta menirukan kata-kata Kieser dalam bahasa Indonesia.
BACA JUGA: Awalnya Ketakutan dan Dicemburui Anak, Kini Berbuah Penghargaan
Tetapi, tidak semua kalimat Kieser bisa disimak serta ditirukan dengan baik dan lancar oleh Mary. Hanya, saat Kieser mengatakan, ’’Tuhan, ampunilah kesalahan kami’’, Mary cukup lancar menirukan lantas terisak.
’’Saat berdoa pun, dia (Mary) sulit menangkap maknanya. Dia kesulitan berkomunikasi,’’ ungkap Kieser kepada Jawa Pos Radar Jogja setelah memberikan keterangan sebagai saksi dalam sidang.
Kieser bukan warga negara Indonesia. Dia dihadirkan Kemenag RI sebagai juru spiritual bagi Mary yang beragama Katolik pada 10 Maret 2011. ’’Saya ditunjuk karena dia (Mary) orang Filipina dianggap bisa berbahasa Inggris. Ternyata, dia tidak begitu paham (bahasa Inggris),’’ tuturnya.
Kieser harus beberapa kali mengulang kalimat yang diucapkan sampai Mary paham. ’’Dia sedikit tahu, tapi banyak tidak tahunya,’’ lanjut pastor berambut putih itu.
Pernyataan Kieser itu persis dengan penuturan Andreas Soni Wicaksono, 54. Pria asli Jogja tersebut, oleh Mary, dipanggil ’’ayah’’. Ya, Soni sudah dianggap ayah angkat Mary. Dialah yang selama ini menjembatani Mary dengan dunia luar.
’’Dia memang tidak bisa berbahasa Indonesia. Karena itu, komunikasinya kadang lewat saya,’’ tutur Soni yang sebenarnya juga tidak bisa berbahasa Inggris apalagi bahasa Tagalog.
Perkenalan Soni dengan Mary bermula pada pertengahan 2013. Saat itu, Soni membesuk kenalannya yang mendekam di Lapas Narkotika Pakem, Sleman. Perkenalan tersebut berlanjut seperti hubungan kekeluargaan.
Soni tidak berkeberatan menerima Mary sebagai bagian dari keluarganya karena alasan kemanusiaan. Selama menghuni Lapas Wirogunan Jogjakarta (rumah tahanannya terakhir), Mary amat jarang dibesuk keluarganya dari Filipina.
Karena kedekatan emosi itulah, tak jarang Mary menumpahkan unek-uneknya kepada Soni, termasuk kasus yang menjeratnya saat ini. ’’Mary menganggap saya bapak angkatnya,’’ tutur Soni yang kemarin hadir di kursi pengunjung sidang.
Dari perkenalan itu, Soni lantas berperan sebagai ’’kurir’’ sosial bagi Mary. Di antaranya, mengirimkan uang Mary kepada keluarganya di Filipina. ’’Saya juga yang diminta membelikan baju dan celananya. Juga, anting yang dipakainya itu. Tapi, semua uang dia sendiri,’’ kata Soni.
Sepengetahuan Soni, Mary adalah orang yang rajin dan tak pernah membuat masalah selama berada di lapas. Mary justru punya penghasilan dari keterampilannya membuat kerajinan rajutan. Sebagian uang hasil jerih payahnya itulah yang kemudian dikirim kepada keluarganya di Filipina.
Kepada Soni, Mary pernah bercerita tentang kasus yang menjeratnya itu. Dia mengaku dijebak kenalannya, Christin, yang menjanjikan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia. Syaratnya, Mary harus mengantar ’’barang’’ –yang ternyata heroin– ke Indonesia melalui Bandara Adisutjipto, Jogjakarta.
Dia percaya pada omongan Christin karena kenal baik. Bahkan, orang tua Christin adalah saksi pernikahan Mary dengan mantan suaminya. Mantan suaminya itu pula yang merekomendasi Mary agar menghubungi Christin jika ingin mencari pekerjaan.
’’Dia orang miskin. Rela menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri demi kehidupan lebih baik. Khususnya untuk menghidupi dua anaknya yang masih kecil-kecil,’’ ungkap pria yang sehari-hari berjualan jamu herbal di Pasar Beringharjo, Jogja, itu.
’’Kepada saya, Mary pernah mengatakan bahwa dirinya mau dihukum seumur hidup. Tapi, jangan dihukum mati. Dia ingin melihat dua anaknya tumbuh dewasa,’’ lanjut Soni.
Selama ini Soni berkomunikasi dengan Mary dengan bahasa Indonesia seadanya. Sekadar untuk percakapan ringan. Itu pun setelah Mary lama bergaul dengan penghuni lapas lain. Dia belajar bahasa Indonesia.
’’Menurut penghuni lapas lain, Mary nggak neko-neko. Banyak yang menyayangkan dia divonis mati karena orangnya memang baik,’’ papar Soni.
Sementara itu, dalam sidang PK kemarin dua saksi dihadirkan untuk dimintai keterangan. Mereka adalah rohaniwan Pastor Bernhard Kieser dan Agus Irwanto dari Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) LIA Jogjakarta. Keduanya dihadirkan tim kuasa hukum terpidana yang diketuai Rudyantho.
Dua saksi itu dihadirkan untuk membuktikan bahwa Nuraini, penerjemah yang mendampingi Mary Jane selama penyidikan hingga sidang pada 2010, tak profesional. Akibatnya, Mary justru dirugikan. Sebab, Mary tak memahami bahasa hukum dan proses persidangan yang setiap percakapannya diterjemahkan dalam bahasa Inggris.
Rudyantho juga mempermasalahkan surat tugas dari kampus bagi Nuraini yang saat menjadi penerjemah sidang masih berstatus mahasiswa STBA LIA. ’’Surat itu dibuat hari Minggu. Ini jelas sejak awal ada rekayasa,’’ ungkap Rudyantho seusai sidang.
Advokat asal Jakarta yang ditunjuk Kedutaan Besar Filipina untuk Indonesia itu juga menyayangkan sikap jaksa yang tak menghadirkan Nuraini untuk diperiksa sebagai saksi. Agus Salim, advokat lain, menyatakan sempat terjadi salah pemahaman oleh Mary atas kalimat terjemahan Nuraini dalam bahasa Inggris. Akibatnya fatal bagi terpidana mati asal Filipina itu.
’’Mary ditanya apakah dia mengaku salah. Dijawabnya iya. Padahal, maksud yang dipahami Mary adalah apakah kamu menyesal. Ya, dia menyesal, tapi merasa tak bersalah karena dijebak,’’ paparnya.
Agus menegaskan, sesuai pasal 51 KUHAP, terdakwa suatu perkara berhak mengetahui dasar bahasa yang dimengerti saat menjalani sidang. Karena itu, jaksa wajib menghadirkan penerjemah yang kompeten. ’’Dia (Mary) hanya bisa bahasa Tagalog. Bukan Inggris,’’ katanya.
Sesuai keterangan Agus Irwanto, Nuraini adalah alumnus STBA LIA dengan spesifikasi bahasa Inggris. ’’Apakah Saudara Nuraini menguasai bahasa Tagalog,’’ tanya Rudyantho. Agus menjawab, ’’Tidak.’’
Setelah mendengar keterangan dua saksi, ketua majelis hakim menskors sidang yang berlangsung sekitar 30 menit sejak pukul 09.45. Skors dilakukan untuk membuat berita acara sidang.
Sidang kembali dibuka setelah jeda 2,5 jam. Dibuka lagi hanya tiga menit, Marliyus lantas mengetuk palu tiga kali untuk menutup sidang. ’’Dengan ini sudah tak ada sidang. Selanjutnya berita acara beserta pendapat hakim akan dikirim ke Mahkamah Agung secepatnya,’’ ujar Marliyus sebelum mengetuk palu.
Seusai sidang, Marliyus memaparkan bahwa semua keterangan saksi telah disimpulkan dalam berita acara. Pendapat hakim bisa menerima atau menolak novum yang diajukan pemohon PK. ’’Semua terungkap. Tapi, tentang pendapat hakim sifatnya rahasia. Kami tak bisa sampaikan di sini,’’ jelasnya.
Percepatan putusan PK, lanjut Marliyus, bergantung hakim agung di MA. ’’Kami hanya administrasi dan melaporkan fakta sidang,’’ lanjutnya.
Jaksa penuntut umum Sri Anggraeni Astuti mengatakan, seusai sidang PK, terpidana bisa sewaktu-waktu dipindah dari Lapas Wirogunan ke Nusakambangan. Apakah hal tersebut harus menunggu putusan MA atau tidak, Anggraeni tidak bisa memastikannya. (*/c5/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cara Diena Haryana Melawan Bullying di Sekolah
Redaktur : Tim Redaksi