Perjuangan Melawan Belanda, Tutut Lihai Bikin Granat

Kamis, 17 Agustus 2017 – 05:05 WIB
Mbah Tutut saat dijumpai di rumahnya. Foto: Loditya Fernandez/Radar Ngawi/JPNN.com

jpnn.com - Para perempuan Ngawi, Jawa Timur, juga ambil bagian dalam perjuangan melawan agresi militer Belanda.

Mbah tutut warga Desa Tepas, Geneng misalnya terlibat dalam pembuatan granat dan mortil di sebuah pabrik senjata di kompleks Pabrik Gula (PG) Soedono dekat rumahnya.

BACA JUGA: Pangeran Diponegoro Kirim Kiai Nursalim yang tak Mempan Ditembak

‘’Niatnya hanya ingin membantu perjuangan, karena menjadi bangsa terjajah itu tidak enak,’’ kata Mbah Tutut dalam bahasa Jawa kemarin.

Mbah Tutut menuturkan terlibat dalam pembuatan senjata pejuang Indonesia sejak 1931. Saat usianya masih belasan tahun.

BACA JUGA: Mayjen Soedarmo: Perempuan Punya Minat Tinggi terhadap Politik

Meski sempat ditentang Sumo Sukadi dan Sedah kedua orang tuanya, Tutut tidak menggubrisnya. Dan tetap yakin langkahnya benar, kendati nyawanya sewaktu-waktu menjadi taruhannya.

Tak hanya karena risiko pembuatan granat dan mortir, tapi resiko ditangkap musuh. ‘’Karena salah sedikit bisa meledak granatnya, jadi harus hati-hati betul,’’ tegasnya.

BACA JUGA: Amanda Pengin Begituan Terus, Kasihan Cowok Tunangannya

Di Pabrik pembuatan granat itu dia bekerja dengan puluhan orang. Kebanyakan muda-mudi lulus sekolah rakyat.

Bekerja mulai kerja pukul 07.00 dan selesai pukul 15.00. Pekerjaannya mengisi bubuk mesiu ke granat ataupun mortir hingga siap pakai.

Sebuah peristiwa nyaris merenggut nyawanya. Saat salah satu teman pabriknya membuat kecerobohan, berniat memadatkan bubuk mesiu ke dalam granat malah menimbulkan ledakan hebat.

Lima orang cacat tetap pasca ledakan itu terjadi. Mulai buta, tangannya hancur dan masih banyak lagi. Sedangkan Tutut selamat.

“Jarak saya hanya lima meter, tapi melihat ledakan langsung reflek meloncat ke balik jendela,’’ katanya.

Insiden itu tak hanya terjadi sekali atau dua kali. Cuaca di Ngawi yang relatif panas membuat ledakan granat ataupun mortir kerap terjadi.

Tak heran, jika pengelola pabrik memilih untuk memindahkan lokasi pabrik itu ke Katerban, Dungus, Madiun.

‘’Sampai akhirnya pindah lagi ke Kediri karena dianggap lebih strategis. Tapi karena terjadi kisruh perang akhirnya buyaran dan pulang ke rumah,‘’ terangnya.

Kata dia, mulai bekerja mengisi bubuk mesiu di pabrik persenjataan tidak banyak agresi militer di Ngawi. Belanda memilih menyingkir pasca terjadi perlawanan di mana-mana.

Jika tentara Belanda dalam jumlah besar datang, mereka biasa masuk ke goa persembunyian di kebun belakang pabrik maupun dekat rumahnya.

‘’Untuk menghindari baku tembak maupun pengeboman. Alhamdulillah saya masih diberi kesempatan hidup sampai saat ini,’’ katanya. (odi/pra)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Si Cewek Cantik Bertato Digeledah, Duh Duh Duh...


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler