jpnn.com, JAKARTA - PT Freeport Indonesia (PT FI) terus mengebut pembangunan smelter setelah melakukan divestasi saham ke PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).
Smelter PT FI yang dibangun di Gresik, Jawa Timur (Jatim), bakal mengelola dua juta ton konsentrat.
BACA JUGA: Jaring Investor, Pemerintah Gratiskan Data Migas
Direktur Utama PT FI Tony Wenas mengatakan, pembangunan smelter hingga Februari 2019 telah mencapai 3,86 persen atau hampir 100 persen dari rencana yang disampaikan kepada pemerintah.
’’Ini akan terus kami selesaikan dan diharapkan pada akhir 2022 sudah selesai, sudah keluar asapnya,’’ ujar Tony akhir pekan lalu.
BACA JUGA: Bangun Konstruksi Smelter, PT CNI Tunjuk BUMN
BACA JUGA: Freeport Berkomitmen Ikut Andil Rehabilitasi Hutan Cycloop
Saat ini, lanjut dia, lahan sudah siap dan tinggal dilakukan pemadatan serta mengeluarkan air-air di dalam.
BACA JUGA: Freeport Berkomitmen Ikut Andil Rehabilitasi Hutan Cycloop
Lahan inti yang digunakan sekitar 35 hektare. Secara bersamaan, dilakukan pemancangan paku bumi (piling) sambil menunggu kesiapan lahan lain secara bertahap.
Menurut dia, sudah banyak lembaga keuangan yang berminat membiayai investasi pembangunan smelter tersebut, baik dari luar maupun dari dalam negeri.
Sebelumnya, ada banyak pertimbangan lokasi selain Gresik untuk membangun smelter tersebut. Misalnya, Papua dan Nusa Tenggara Barat (NTB.
Pada akhirnya, pemilihan Gresik, tepatnya di kawasan industri terpadu Java Integrated Industrial and Ports Estate (JIIPE), didasarkan pada pertimbangan pasokan energi seperti listrik, lokasi yang strategis, dan kapasitas smelter.
Di Gresik, limbah smelter dapat dimanfaatkan untuk produksi pupuk maupun semen.
Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot menuturkan, pemerintah akan mengevaluasi perkembangan pembangunan smelter setidaknya enam bulan sekali.
’’Jika perkembangannya tidak sesuai dengan yang disampaikan ke pemerintah, izin ekspornya bakal dicabut,’’ tegasnya.
Pemerintah melalui tim pengawas independen (independent verificator) memastikan perusahaan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian sesuai dengan jadwal.
Jika perusahaan bisa membangun smelter sesuai dengan rencana yang dimasukkan kepada pemerintah, izin ekspor tetap diberikan.
’’Sebaliknya, jika tidak, izin ekspornya bisa dicabut. Namun, membangun smelter tetap harus dilanjutkan,’’ tuturnya.
Pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah produk pertambangan.
UU Nomor 4 Tahun 2009 ini mensyaratkan bahwa pengelolaan minerba tidak boleh dilakukan hanya dengan mengekspor bahan mentah.
Namun, minerba harus diolah di dalam negeri agar memberikan nilai tambah ekonomi bagi negara, pengelolaan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat setempat.
’’Izin ekspor itu fasilitas yang diberikan pemerintah kepada PT FI untuk bisa melakukan kegiatan penjualan keluar selama smelternya belum terbangun sempurna,’’ jelas Bambang.
Pemerintah memberikan tenggat pembangunan smeleter dapat terlaksana dalam lima tahun.
Jika belum ada perkembangan signifikan, berdasar aturan, Freeport akan dikenai bea ekspor keluar 7,5 persen.
Sementara itu, produksi konsentrat PT FI pada tahun ini merosot menjadi 1,2 juta ton dari dua juta ton pada 2018.
Penyebabnya, transisi perubahan skema pertambangan terbuka menjadi tambang di bawah tanah. (vir/c14/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penerangan Jalan Umum Tenaga Surya Bakal Dibangun di 21 Ribu Titik
Redaktur : Tim Redaksi