Perkuat Kerukunan dan Kesetiakawanan demi Menjaga Persatuan

Jumat, 08 Desember 2017 – 01:36 WIB
Hamim Ilyas. Foto: Istimewa for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Masyarakat Indonesia harus menjaga dan memperkukuh kerukunan serta kesetiakawanan sosial sebagai benteng untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pasalnya, saat ini marak pola persaudaraan yang sempit berbasis kepentingan kelompok, etnis, agama, dan suku.

BACA JUGA: Gus Yaqut: Ansor Tak Akan Pernah Berhenti Menjaga Indonesia

“Harus disadari bahwa di dalam Islam persaudaraan itu tidak hanya dibatasi kekeluargaan sampai ke negara, tapi persaudaraan itu untuk seluruh umat manusia. Itu di Alquran ada di surah Al Baqarah ayat 213 yang artinya manusia itu merupakan umat yang satu (bangsa),” ujar Wakil Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah Hamim Ilyas dalam diskusi bertajuk Penelitian, Pandangan dan Sikap Muhammadiyah Terhadap Radikalisme dan Terorisme di Indonesia, Kamis (7/12).

Dia menambahkan, masyarakat harus rukun dan tidak berkonflik. Meski begitu, pada kenyataannya memang ada konflik sejak zaman dulu. Para nabi akhirnya diutus dengan membawa kitab suci masing-masing.

BACA JUGA: Jaga Kebinekaan dengan Kewaspadaan Bermedia Sosial

“Ketika sudah ada nabi dengan membawa kitabnya belum menghilangkan konflik, maka Nabi Muhammad diutus untuk menghilangkan konflik yang di antaranya berbasis agama dengan Islam yang rahmatan lil alamin. Yaitu, Islam yang dalam pengertian yang paling luas diwahyukan untuk mewujudkan hidup yang lebih baik,” ujarnya.

Menurut dosen UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, itu, hidup lebih baik itu memiliki tiga  indikator yakni sejahtera, damai, dan bahagia untuk semua orang.

BACA JUGA: Stafsus Presiden: Kultur Individualisme Memecah Belah Bangsa

Sebab, hal itu sesuai dengan tiga fungsi Islam di dalam surah Ali imron ayat 103-104. Yakni, mempersatukan, menyelamatkan, dan memperbaiki kehidupan umat manusia.

“Jadi, umat Islam itu harus seperti itu. Karena itu, janganlah membentuk kelompok sendiri untuk kepentingan kelompok, etis atau agama yang ujung-ujungnya nanti malah dapat memecah belah masyarakat di negara ini,” ujarnya

Untuk itu, dirinya meminta masyarakat menyadari bahwa zaman sudah berubah. Istilahnya adalah zaman now, bukan zaman old.

“Ketika zaman now hubungan antaragama itu sudah terbuka, perubahan ini yang harus disadari oleh umat,” tutur Hamim.

Dia menambahkan, sejak merdeka, Indonesia sudah berdasarkan Pancasila.

“Semua warga negara itu memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara untuk membuat majuanya negara. Itu memang dibutuhkan mentalitas baru, tidak cukup dengan mentalitas lama,” kata Hamim.

Untuk mengubah mentalitas lama ke yang baru di masyarakat, kata Hamim, harus ditempuh melalui melalui jalur pendidikan.

Sebab, pendidikan memiliki tujuan mengantarkan peserta didik supaya bisa hidup sesuai dengan lingkungan di zamannya.

Menurut dia, pendidikan memiliki empat fungsi. Yaitu, pendidikan sebagai proses membentuk pribadi, warga masyarakat, membentuk warga negara, dan tenaga kerja. .

“Namun, sesuai yang ada dalam nilai-nilai Islam, pendidikan itu dikembangkan lagi yakni pendidikan sebagai hamba Tuhan, sebagai anggota keluarga, sebagai anggota komunitas, sebagai warga masyarakat, warga negara dan warga dunia. Ini yang harus disadari masyarakat agar mereka mau hidup bersama dengan berbagai etnis, agama, kelompok agar menjadi benteng demi menjaga persatuan di negeri ini,” pungkas Hamim. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gus Yaqut: Kader Ansor dan Banser Wajib Jaga Keberagaman Indonesia


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler