jpnn.com, JAKARTA - Banyak pihak menyayangkan putusan hakim Pengadilan Negeri Medan yang memvonis terdakwa Ibu Meiliana dengan penjara 18 bulan atas dasar tuduhan penodaan agama. Putusan tersebut dinilai tidak adil dan cenderung diambil karena tekanan massa.
Menanggapi putusan tersebut, Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Benny Susatyo menilai perlu kearifan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan persoalan tafsir perbedaan. Menurut Romo Benny, Para Bapak Bangsa telah memberikan pelajaran berharga dalam upaya menyelesaikan persoalan tafsir perbedaan ini.
BACA JUGA: Jokowi Dukung Meiliana Ajukan Banding
“Kita belajar kembali kearifan Bapak Bangsa yang mengedepankan musyawarah mufakat dalam hal masalah tafsir perbedaan ini demi terwujudnya keadaban Pancasila,” ujar Romo Benny di Jakarta, Sabtu (25/8).
Romo Benny mengungkapkan bahwa sudah menjadi keniscayaan Indonesia merupakan negara yang beranekaragam suku, bahasa, etnis dan agama. Bahkan, kata dia, keanekaragaman tersebut merupakan anugerah yang perlu dilestarikan.
BACA JUGA: Masinton: Kasus Meiliana Harusnya Selesai Lewat Musyawarah
“Bangsa ini didirikan dari bermacam suku, agama, dan etnis maka perbedaan harus diselesaikan dengan mengedepankan musyawarah mufakat. Jadi, masalah perbedaan perlu ditangani dengan cara musyarawah mufakat agar kasus ibu Meiliana di Tanjung Balai tidak terulang lagi,” tandas dia.
Menurut dia, musyawarah mufakat akan mengutamakan persaudaraan, saling menghargai, kebersamaan dan kegotongroyongan. Dalam masyawarah mufakat, kata dia, masalah tafsir perbedaan tidak akan dilihat hitam putih atau salah benar seperti penyelesaian di ranah hukum.
BACA JUGA: Saran Tim Pembela Jokowi agar Kasus Meiliana Tak Terulang
“Persoalan penodaan agama jika diselesaikan hanya semata-mata di ranah hukum, maka berpotensi terjadinya politisasi politik identitas,” tutur dia.
BACA JUGA: Meiliana Divonis 18 Bulan, Hendardi: Bentuk Peradilan Sesat
Belum lagi, kata Romo Benny, persoalan kapasitas hakim dan jaksa dalam memahami secara benar roh dari UU No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama. Menurut dia, UU tersebut harus dibaca dalam konteks kelahirannya.
“Karena itu, ke depannya, penting kesiapan aparat kepolisian untuk mengedapankan asas musyawarah mufakat dengan membangun sinergi tokoh agama, tokoh adat, pemuka masyarakat dan FKUB dilibatkan dalam mengatasi masalah terkait dengan kasus perbedaan agama dan etnis," imbuh dia.
Sebagaimana diketahui, Meiliana adalah seorang ibu rumah tangga, beragama Budha, memiliki empat anak dengan suami yang bekerja serabutan dan hingga saat ini mereka masih mengontrak rumah. Dia didakwa melakukan penodaan agama karena pada 22 Juli 2016 menyampaikan kepada seorang tetangganya tentang suara pengeras suara di masjid dekat rumahnya yang lebih keras dibandingkan sebelumnya.
Sang tetangga menyampaikan hal itu kepada pengurus masjid. Sempat ada pertemuan antara pengurus masjid dengan Bu Meiliana dan suami. Sang suami bahkan sempat mendatangi khusus pengurus masjid untuk meminta maaf. Namun, ternyata, ada pihak-pihak tertentu yang memprovokasi masyarakat, antara lain melalui media sosial, dengan hoaks “ada orang Cina melarang azan.”
Provokasi tersebut menuai hasil. Pada 29 Juli 2016 terjadi kerusuhan. Rumah Meiliana dilempari, dirusak, dan dibakar. Tidak hanya itu, massa yang marah juga membakar belasan rumah ibadah umat Budha di Tanjung Balai.
Karena kejadian itulah, Meiliana diajukan ke pengadilan dengan tuduhan melanggar pasal 156 subsidair Pasal 156a Huruf (a) KUHPidana yang berbunyi: "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia."
Pengadilan Negeri sudah mengabulkan tuntutan tersebut dengan hukuman 18 bulan. Saat ini, Tim Penasehat Hukum Meiliana sudah mengajukan banding.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Soal Vonis Meiliana, Ini Kata Ketum PP Muhammadiyah
Redaktur & Reporter : Friederich