jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah dan DPR harus mempertimbangkan perlunya memperkuat peran KPK di bidang supervisi, monitor, dan koordinasi demi memperkuat fungsi bidang pencegahan tindak pidana korupsi yang hingga saat ini absen dan nyaris tak terdengar.
“Lemahnya bidang pencegahan di KPK oleh karena fungsi pencegahan yang semula menjadi wewenang Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) difusikan (dilebur) menjadi bagian pencegahan pada KPK tetapi fusi itu tidak pernah direalisasikan oleh pimpinan KPK hingga sekarang,” kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) sekaligus Advokat Peradi kepada wartawan, Kamis (8/8/2019).
BACA JUGA: Pansel Capim KPK Masih di Trek yang Benar
Padahal, menurut Petrus, menurut ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK, fungsi pencegahan KKN itu seharusnya tetap diemban oleh KPKPN yang menjadi bagian pencegahan di KPK. Buktinya keberadaan KPKPN masih tetap diakui oleh ketentuan pasal 6 dan pasal 69 UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK. Tetapi, kata dia, tidak pernah difungsikan atau dilaksanakan oleh pimpinan KPK selama 15 (lima belas) tahun usia KPK.
Oleh karena itu, Petrus mendorong DPR dan Pemerintah perlu menghidupkan kembali fungsi KPKPN di KPK. Pasalnya, secara yuridis KPKPN sudah menjadi bagian pencegahan di KPK sebagaimana keberadaan dan fungsinya diakui oleh ketentuan pasal 6 dan pasal 69 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK.
BACA JUGA: Terus Kejar Kasus yang Sudah Diputus MA, KPK Dinilai Hamburkan Uang Negara
BACA JUGA: Mendagri: Pencegahan Korupsi Jangan Cuma Formalitas
“Tidak berfungsinya bidang pencegahan itu terbukti dari tidak adanya pemeriksaan terhadap Penyelenggara Negara terkait dengan LHKPN sesuai dengan amanat UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN,” katanya.
BACA JUGA: Soal Seleksi Capim KPK, Petrus Selestinus: Penilaian PUSaKO Menyesatkan Publik
Klarifikasi dan Verifikasi LHKPN
Menurut Petrus, tugas KPK tidak hanya pada bidang penindakan (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan), akan tetapi masih ada fungsi lain yaitu koordinasi, monitor, supervisi dan pencegahan korupsi. Selama ini bidang pencegahan absen dari tugas KPK yang seharusnya berjalan beriringan dengan fungsi penindakan.
Padahal fungsi pencegahan KKN sangat strategis karena mengandung unsur edukasi dan penyadaran pada bagian hulu dari KKN dibanding fungsi penindakan yang hanya berfungsi pada bagian hilirnya, sehingga tidak memberi efek signifikan terhadap pencegahan korupsi.
Pada kesempatan itu, Petrus mengungkapkan publik mulai curiga ada apa antara DPR dengan KPK yang sejak KPKPN dibubarkan melalui UU No. 30 Tahun 2002, fungsi bidang pencegahannya melemah dan nyaris tak terdengar. Selama ini DPR tidak pernah mempertanyakan dalam rangka kontrol mengenai lemahnya fungsi pencegahan terkait LHKPN.
Menurutnya, ribuan bahkan puluhan ribu LHKPN telah masuk ke KPK akan tetapi KPK tidak pernah mengekspose LHKPN itu ke publik melalui media massa. Bahkan Penyelenggara Negara yang sudah mengisi LHKPN-nya tidak perna diklarifikasi dan diverifikasi kebenaran data pelaporannya.
Padahal, menurut Petrus, klarifikasi dan verifikasi terhadap LHKPN setiap Penyelenggara Negara menjadi sangat penting, karena rata-rata koruptor dari unsur Penyelenggara Negara selalu mencuci uang hasil korupsi-nya dengan cara menimbun kekayaan harta benda. Di antaranya membeli tanah, bangunan rumah, apartemen, mobil mewah, dan lain-lainnya. Kemudian dijual kembali dan seterusnya untuk mencuci hasil korupsinya, sehingga tidak semua kekayaannya dilaporkan kepada KPK dengan alasan sudah dijual.
LHKPN Alat Ukur Kejujuran
Mengukur kebenaran dan kejujuran Pelaporan harta kekayaan Penyelenggara Negara dalam LHKPN, sangatlah mudah. Menurut Petrus, hal itu cukup dengan membandingkan penghasilan resmi yang dilaporkan dalam LHKPN dengan jabatan strategis yang pernah diemban Penyelenggara Negara. Kemudian membandingkan gaya hidup Penyelenggara Negara yang bersangkutan dengan harta kekayaan yang dimiliki dan dilaporkan ke KPK, maka dapat dipastikan apakah pejabat tersebut memiliki penghasilan lain yang tidak sah di luar gaji resmi (gratifikasi atau penyalahgunaan wewenang). "Namun motode seperti ini tidak pernah dilakukan KPK terhadap setiap Penyelenggara Negara dan LHKPN-nya yang dilaporkan," kritik Petrus.
Selama 17 (tujuh belas) tahun usia KPK, hanya bidang penindakan yang berfungsi, sementara fungsi pencegahan korupsi yang diemban oleh KPK sesuai UU Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN tidak pernah dijalankan oleh KPK.
Informasi yang beredar konon karena ada "deal" antara calon pimpinan KPK dan DPR untuk tidak mengutak-atik LHKPN demi menjaga privasi Penyelenggara Negara atas nama HAM, katanya. Padahal tindakan tidak melakukan pemeriksaan terhadap LHKPN, jelas merupakan perbuatan melanggar hukum.
Oleh karena itu, menurut Petrus, publik sangat berharap agar dari tangan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK periode 2019-2023, melahirkan pimpinan KPK baru (mengubah secara total pimpinan KPK yang ada sekarang), yang mampu mengemban misi koordinasi, monitor dan supervisi agar memperkuat fungsi pencegahan.
“Karena selama ini hanya fungsi penindakan yang berjalan dan diperankan dengan baik oleh Polisi dan Jaksa Penuntut Umum di KPK. Padahal pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan penindakan,” tegas Petrus.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Keberadaan Unsur Polri dan Kejaksaan Dalam Pimpinan KPK Suatu Keharusan
Redaktur & Reporter : Friederich