jpnn.com, JAKARTA - Keputusan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini kembali menggugat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold ke Mahkamah Konstutusi (MK), karena menilai aturan itu tidak logis.
“Kami mengajukan kembali permohonan ini karena Perludem menginginkan terwujudnya demokrasi konstitusional di Indonesia. Bukannya memberlakukan suatu aturan yang tidak logis berupa ambang batas yang merujuk hasil pemilu lima tahun sebelumnya,” ucap Titi menjawab JPNN, Minggu (17/6).
BACA JUGA: Lagi, Gugat Presidential Threshold Demi Kedaulatan Rakyat
Menurut Titi, upaya dirinya bersama belasan akademisi, praktisi dan tokoh publik menggugat kembali Pasal 222 UU 17 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut, tidak ada urusan dengan kepentingan parpol atau calon tertentu. Sebab mereka perjuangkan nilai-nilai demokrasi yang sejalan dengan pengaturan konstitusional dalam UUD 1945.
Dia pun mengakui sudah pernah mengajukan permohonan uji materi aturan presidential threshold ke MK. Gugatan tersebut masuk setelah Partai Idaman memasukkan permohonan yang sama sehingga permohonan Perludem diputus oleh MK "tidak dapat diterima".
BACA JUGA: Pendukung Jokowi Tak Terusik Rencana Munas Ulama Non-MUI
Putusan MK atas permohonan Partai Idaman dinillai Titi, sama sekali tidak mempertimbangkan argumen hukum dan keterangan ahli yang diajukan dalam permohonannya. Selain itu, Putusan MK menggunakan batu uji Pasal-Pasal dalam UUD 1945 yang berbeda dengan apa yang dimohonkannya saat ini.
“Putusan MK atas permohonan Partai Idaman terdahulu belum menyinggung syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang kami ajukan sekarang,” kata dia.
BACA JUGA: Bersediakah Habib Rizieq jadi Capres? Oh, Ternyata
Dalam gugatan terbarunya, Perludem berpegangan pada jaminan kemurnian suara rakyat melalui prinsip kedaulatan rakyat yang dianut oleh UUD 1945 dan juga ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang sejatinya bukan suatu open legal policy melainkan closed legal policy. Sebab sudah jelas Pasal itu mengatur syarat untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden adalah diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.
Sehingga dalam konteks pemilu serentak, tegas Titi, sudah terang benderang bahwa UUD 1945 memberikan jaminan pada parpol peserta pemilu yang sedang berlangsung untuk mengusung calon baik sendiri-sendiri maupun bergabung dengan parpol lain.
"Sejak semula kami berpendapat pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden menjadi inkonsistensi reformasi sistem dan institusi politik yang paling menyolok selama perjalanan 20 tahun reformasi," kata perempuan berhijab itu.
Di sisi lain, Pemilu 2019 berlangsung serentak, sehingga ambang batas tidak mungkin didasarkan pada hasil pemilu legislatif yang belum ada hasilnya. Ironisnya, prasyarat absurd dalam sistem presidensial itu tetap diberlakukan dengan menjadikan hasil Pemilu 2014 sebagai dasar untuk menghitung ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Idrus Sebut Poros Beijing Makin Mesra dengan Tiongkok
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam