jpnn.com, JAKARTA - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP Nomor 71 Tahun 2014 masih menuai pro dan kontra karena dianggap melahirkan dampak sosial ekonomi yang cukup besar.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Supiandi Sabiham mengatakan, hal-hal yang masih dipermasalahkan dalam PP tersebut seharusnya dapat diterjemahkan dan diakomodasi melalui aturan operasional di bawahnya, seperti Permen LHK.
BACA JUGA: Program Magang Kemenkop UKM 2017 Dorong 500 Wirausaha Muda
Supiandi menjelaskan, masalah yang ada dalam PP No.57/2017 adalah tidak adanya keseimbangan antara kepentingan konservasi dengan pengembangan budi daya yang terkait ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Menurutnya, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) P.17/2017 yang merupakan salah satu aturan turunan dari PP. No. 57/2016 belum bisa mengakomodasi dan menjadi solusi bagi masalah-masalah yang timbul akibat regulasi induknya.
BACA JUGA: Industri Pengolahan Susu Sangat Seksi
“Memang untuk PP itu, kan, tidak mudah. Jadi, itu harusnya diterjemahkan dalam Permen yang lebih mengakomodasi tidak hanya konservasi, tetapi juga ke pengembangan, budi daya. Kalau budidaya, kan, itu kaitannya sama ekonomi. Jadi harus ada keseimbangan antara konservasi dan pengembangan ekonomi,” ungkap Supiandi dalam keterangan tertulis yang diterima JPNN, Selasa (9/5).
Supiandi menilai Permen itu seolah hanya mempertajam apa yang ada di dalam PP.
BACA JUGA: KLHK Cermati Berbagai Keluhan Terkait Permen LHK P.17/2017
“Justru itu Permen harus ditinjau ulang agar tidak banyak menimbulkan masalah. Masalah investasi, masalah tenaga kerja, masalah income daerah, belum lagi masalah dampak sosialnya. Itu, kan, banyak multiplier effect-nya,” imbuhnya .
Menurut Supiandi, ompensasi berupa land swap (tukar lahan) bagi perusahaan yang 40 persen atau lebih lahan gambutnya menjadi fungsi lindung juga tidak menjadi solusi.
Sebab, lahan pengganti no gambut diragukan bisa tersedia dalam waktu cepat.
“Land swap itu yang mengganti investasinya siapa? Apakah mulai dari nol lagi? Snaya rasa perusahaan nggak mau itu. Udah dua kali rugi, kan? Memang tidak mudah land swap itu, lahannya juga susah didapat,” ujarnya
Permasalahan yang ditimbulkan, menurut Supiandi, seharusnya juga menjadi tanggung jawab bersama.
“Yang dulu memberi izin, kan, pemerintah juga, tidak mungkin swasta membuka lahan tanpa izin. Siapa yang memberi izin, kan harus tanggung jawab juga, dong. Seharusnya ini, kan, tanggung jawab bersama,” ujar Supiandi. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Seperti Ini Dampak Implementasi Regulasi Gambut untuk Riau
Redaktur & Reporter : Ragil