jpnn.com - TENTU kabar gembira tersebut tidak seketika disambut girang saat Lailatul Fitria dan Mohammad Arifin kali pertama mendengarnya. Begitu mendengar bahwa di perutnya ada janin kembar empat, Laila –sapaannya– langsung kaget dan shock.
Memang, kehamilan adalah salah satu hal yang paling diidamkan Laila. Sebab, Laila punya riwayat kista sejak 2003. ”Saya periksa ke dokter, katanya harus dioperasi,” ujarnya. Namun, hingga sepuluh tahun berselang, dia enggan dioperasi.
BACA JUGA: Uang Cepat Lusuh karena Disimpan di Dalam Koteka
Meski terus dibayang-bayangi kesulitan punya keturunan, Laila terus berusaha untuk mencari second opinion.
Hingga akhirnya, sebulan sebelum menikah, perempuan penyuka aksesori dan boneka sapi itu disarankan untuk tidak menjalani operasi oleh dokter kandungan, dr Greg Agung H SpOG. ”Dokternya bilang nggak apa-apa. Saya dikasih obat dan kistanya hilang,” ungkapnya.
BACA JUGA: Keropak Pernah Hanya Berisi Bungkus Permen dan Amplop Kosong
Setelah janur kuning melengkung pada Mei 2013, kistanya hilang. Perempuan yang doyan shopping itu pun punya harapan untuk mengandung. Namun justru sebaliknya, dia tidak kunjung hamil. Padahal, perempuan kelahiran Tuban tersebut begitu mendambakan tangisan bayi dalam keluarganya.
Tidak mau putus asa, perempuan 28 tahun itu kembali berkonsultasi dan dokter menyarankan untuk menjalani induksi ovulasi. Yakni, pemberian obat untuk menguatkan kandungan dan bukan melalui prosedur bayi tabung. Tidak butuh waktu lama, berselang dua bulan, supervisor di salah satu toko kurma di daerah Ampel itu dinyatakan hamil.
BACA JUGA: Tentang Perempuan Menemukan Tujuh Telur dan Cenderawasih
Sejak awal dokter menduga ada kemungkinan bayi yang dilahirkan adalah kembar dua. Tak lama setelah diperiksa, muncul flek darah. Laila pun kembali di-USG. Hasilnya menakjubkan. Bayinya memang kembar. Bukan dua, bukan tiga, melainkan empat.
”Waktu USG, kelihatan ada semacam gumpalan dalam kantong,” katanya. Menurut dia, dokter pun tidak percaya karena selama berpraktik belum pernah menjumpai bayi kembar empat. Paling banter adalah kembar tiga.
Sebagai perempuan, Laila sudah pasti happy. Tetapi, alumnus Universitas Mercubuana Yogyakarta itu juga merasa khawatir dan takut. Khawatir soal kesehatan janin hingga takut kekurangan biaya. Selain itu, dia cemas sang suami menolak empat anak tersebut. ’’Karena lahirnya langsung banyak,’’ ungkap Laila.
Kecamuk pikiran itu justru mendorongnya menghubungi suaminya yang sedang di kantor. Dalam bayangannya, sang suami pasti langsung marah dan menolak. Eh, reaksi Arifin, suami Laila, justru tertawa bahagia.
Sebab, harapannya untuk punya anak kembar terkabul. Langsung empat, lagi. Itulah yang menjadi kekuatan dan keyakinan bagi keduanya agar kehamilan kembar empat tersebut dipertahankan.
Layaknya perempuan hamil lain, periode prenatal adalah masa perjuangan. Namun, tampaknya, perjuangan mahasiswi psikologi angkatan 2005 itu empat kali lipat lebih berat.
Pada trimester pertama, hampir tidak ada keluhan. Warga Kapasan itu hanya sulit makan. ”Mualnya seperti orang hamil pada umumnya. Jadinya saya nggak mau makan,” ujarnya.
Setelah kandungan berusia empat bulan, itulah awal perjuangan luar biasa Laila bersama empat jagoan dalam perutnya. Si bungsu di antara sepuluh saudara tersebut sering mengalami kontraksi. Perutnya pun terasa semakin sakit dan otot-ototnya menegang.
Dokter kandungan sempat menyarankan Laila untuk cuti kerja. Namun, itu ditolaknya. ”Kalau saya di rumah, bisa stres. Soalnya nggak bisa ketemu orang,” katanya sambil mengusap-usap perutnya.
Alhasil, setiap pagi Arifin jadi tukang ojek pribadinya. Antar-jemput setiap ke kantor. Dengan perut Laila yang terus membesar, beberapa orang di sekitarnya takut dan khawatir. Meski baru empat bulan, ukurannya lebih besar daripada perut bumil lain. Bahkan, sering terjadi kontraksi.
Selama bekerja di kantor, perempuan yang menamatkan sekolah menengah atas di Jombang itu menyatakan sering kelelahan sehingga dirinya sering tidur. Bahkan, menginjak usia lima bulan, nafsu makannya bertambah. Setiap dua jam sekali, perempuan berjilbab itu terbangun saat malam untuk makan.
Tak berhenti di situ, ketika kandungannya berumur enam bulan, Laila sering mengalami sesak napas. Bicarapun susah. ”Kalau ngomong nggak bisa panjang-panjang. Suaranya juga kecil,” sambungnya. Sering saat toko ramai pelanggan, Laila hanya bisa tersenyum dan memilih berada di back office.
Saat malam menjelang, suhu tubuhnya meningkat. Meski dibekali dua kipas angin berukuran jumbo, kucuran keringat tidak juga mampet. Tubuhnya kerap kuyup bak orang dimandikan. Kasurnya selalu basah seperti habis kebanjiran.
Yang hebat, Laila enggan cuti ketika kandungannya kian tua dan keluhannya bertambah banyak. Acap kali dia kesakitan karena otot-otot perut terus melebar. Ototnya serasa sudah mentok dan tidak sanggup lagi untuk melar.
Belum lagi bila empat buah hatinya bergerak dan menendang. ”Sakit banget,” ungkapnya. Menurut Laila, saat bayinya aktif, dirinya mengalami kontraksi berlebihan. Dalam sehari, dia bisa lebih dari lima kali kontraksi.
Ibarat sebuah balon, perutnya seakan hampir pecah membawa empat bayi berbobot hampir delapan kilogram yang terus berkembang. Tetapi, hal itu tidak melunturkan semangatnya untuk berbelanja tatkala bosan di rumah. Situasi kehamilan yang sulit itu sering membuatnya tidak betah berlama-lama di rumah.
Solusinya adalah shopping atau sekadar cuci mata. Aksi nekat itu tidak jarang membikin sebagian orang paranoid dan ketakutan. Takut bayi dilahirkan saat sedang asyik milih baju. ”Perut saya kan sangat besar. Jadi, kelihatan seperti mau lahiran,” jelasnya.
Perjuangan menahan sakit akibat perut yang terus membuncit mendapat tambahan cobaan. Seminggu sebelum acara tujuh bulan kehamilan, ibu Laila mangkat. Padahal, ibu adalah satu-satunya sandaran bagi Laila, sejak sang ayah berpulang beberapa tahun silam.
Dalam titik terlemahnya, sosok ibu yang bisa diandalkan kini tidak ada. Meski sulit menerima kenyataan, perempuan yang hobi traveling, climbing, dan caving itu memberanikan diri ke Tuban untuk melepas kepergian sang bunda.
Selama seminggu di Tuban, berlinang kesedihan dan kesepian, dia pun harus menahan sakitnya kontraksi yang rutin menghampiri.
Kembali ke Surabaya, Laila berkutat dengan rutinitas sebagai supervisor meski untuk bernapas saja tersengal-sengal. Hingga akhirnya, Laila tidak sanggup lagi menahan kontraksi dan otot perut yang kian melar. ”Saya nggak bisa tunggu hingga sembilan bulan. Rasanya sudah mentok otot perut saya,” ungkapnya.
Hampir delapan bulan menunggu, akhirnya pada 13 Juni pukul 07.00 empat putranya dilahirkan secara Caesar di RS Putri Surabaya. Haru yang tidak terbendung dan senyum lebar pun tersungging di bibir perempuan berzodiak Gemini itu. Bersama suami yang siap-antar-jaga, mereka menyambut kedatangan empat buah hati dengan bahagia.
Memang awalnya mereka khawatir soal biaya. Namun, kekhawatiran itu sirna saat melihat tubuh-tubuh mungil yang menangis lantang di ruang NICU.
”Tidak terpikir sama sekali untuk memberikan salah seorang anak saya ke orang lain,” kata Laila tegas. Matanya berkaca-kaca menahan tangis haru.
Memang, beberapa kerabat dan kenalan menawarkan bantuan untuk mengasuh anaknya. Namun, bagi Laila, anak adalah anugerah. Empat anak yang hingga kemarin belum diberi nama itu bukan bencana, tapi berkat yang harus disyukuri.
Meski untuk makan pun, Laila dan Arifin harus ngoyo kerja. Laila percaya kebahagiaan ialah saat sang ibu membesarkan anak-anaknya dengan cinta. (Priska Birahy/c7/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dua Kali Menangi Lomba Mobil Hemat Energi
Redaktur : Tim Redaksi