jpnn.com - RUPIAH adalah identitas negara. Alat tukar resmi di segala penjuru tanah air itu harus dijaga dari transaksi dengan mata uang asing, kerusakan, dan kondisi tidak layak edar. Tantangan justru muncul dari daerah-daerah perbatasan.
***
BACA JUGA: Keropak Pernah Hanya Berisi Bungkus Permen dan Amplop Kosong
Di bawah awan kelabu, Kapal Republik Indonesia (KRI) Banjarmasin (592) merapat ke dermaga. Jawa Pos yang berada di antara 30 penumpang terkesima dengan pemandangan yang terhampar. Air laut yang seolah mendorong bebatuan besar di pinggir pelabuhan sangat bening dan membiru. Gerombolan ikan yang asyik berenang di antara dasar tiang-tiang pangkalan tampak tak terganggu riuhnya kapal-kapal yang berdatangan.
Dari ujung pelabuhan, terpampanglah papan nama Port of Waisai. Waisai merupakan ibu kota Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Kendati tak luas, pelabuhan tersebut menjadi infrastruktur utama kapal penumpang yang berukuran cukup besar untuk berlabuh di kota kecil yang berada di Pulau Waigeo tersebut.
BACA JUGA: Tentang Perempuan Menemukan Tujuh Telur dan Cenderawasih
Biasanya, kapal-kapal itu mengangkut masyarakat pendatang dari Sorong, Papua, maupun para pelancong yang hendak mengawali petualangan alam mereka di Raja Ampat. Selain perantau, kebanyakan warga yang bermukim di Waisai adalah suku Biak, Maya, dan Ondoloren.
Sama halnya dengan pusat kota lainnya, Waisai cukup ramai sebagai tempat perdagangan. Apalagi, Waisai akan menjadi lokasi puncak kegiatan Sail Raja Ampat Agustus mendatang. Tidak pelak, kota kecil itu mendorong pembangunannya. Khususnya fasilitas umum seperti masjid, pertokoan, termasuk Pasar Snon Bukor.
BACA JUGA: Dua Kali Menangi Lomba Mobil Hemat Energi
Pasar yang membelakangi hutan bakau rimbun di pinggir laut itu adalah tempat warga Waisai menjual barang dagangan. Mulai sagu, sayuran, buah-buahan, ikan, ayam, telur, hingga kebutuhan pokok lain. Di pasar itu pula, Nursiyah yang berasal dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, berjualan sayur untuk mencari nafkah.
Di depan dagangannya, dia berdiri untuk merapikan delapan lembar uang kertas senilai Rp 48 ribu. Lembaran uangnya sangat lusuh. Ada yang sobek separo, ada pula yang angka-angkanya sudah susah dikenali.
Perempuan berkulit gelap dan berambut keriting itu mengaku mendapat uang lusuh dari para pembeli sayurnya. ”Bagaimana lagi, mau menolak uang seperti ini juga tak bisa. Pembeli bisa marah. Jadi, saya simpan saja,” ungkap perempuan yang berusia 36 tahun tersebut.
Bukan hanya Nursiyah. Wawan bahkan memiliki beberapa bundel rupiah kertas yang dia satukan dengan karet gelang. Penjual keperluan rumah tangga di pasar itu juga mengaku mendapat ratusan lembar uang lusuh tersebut dari para pembeli. ”Saya malah dimarahin pembeli kalau tidak terima uang (lusuh) ini,” ujarnya.
Begitulah potret sebagian kegiatan transaksi dengan menggunakan rupiah di pulau-pulau terluar di Indonesia. Akan sangat jarang ditemukan uang baru yang masih licin dan mengkilap seperti di pulau Jawa. Kebanyakan rupiah kertas di wilayah-wilayah perbatasan cenderung kumal, sobek-sobek, bahkan rusak.
Minimnya jaringan perbankan di wilayah-wilayah tersebut membuat masyarakat kesulitan untuk menukarkan uang lusuh mereka dengan uang baru yang layak ditransaksikan.
Kalaupun ada kantor cabang maupun kantor kas bank, menyerap dan mengirimkan uang lusuh dari masyarakat ke kantor pusat membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal itu disebabkan rendahnya kualitas infrastruktur yang menghubungkan pulau-pulau terluar ke pulau utama sebagai pusat kota.
Bayangkan saja, biaya menyewa speedboat yang menghubungkan Waisai ke Kepulauan Raja Ampat setidaknya mencapai Rp 25 juta per hari. Cost sebesar itu hanya untuk berlabuh ke tiga atau empat pulau di Kepulauan Raja Ampat.
Mayoritas biaya digunakan untuk membayar ongkos bensin. Untuk mengelilingi beberapa pulau di Kepulauan Raja Ampat dalam sehari, dibutuhkan ongkos bensin minimal USD 500 atau sekitar Rp 5,5 juta.
Asromy, kepala cabang Bank Papua di Waisai, mengatakan, dalam setahun paling tidak pihaknya menerima Rp 200 juta hingga Rp 300 juta uang lusuh dari masyarakat. Uang-uang tersebut termasuk yang didapatkan dari lima kantor kas Bank Papua di Pulau Kabare, Kalobo, Samate, Dabatan, dan Waigama, Kepulauan Raja Ampat.
Menurut Asromy, yang membuat uang-uang tersebut lusuh sebetulnya tak jauh-jauh dari kebiasaan masyarakat setempat. Salah satunya cara menyimpan. Pria berkacamata itu menerangkan, masih banyak masyarakat yang tidak memiliki dompet sehingga uang langsung ditaruh sembarangan di saku celana.
Barulah sebelum mereka membeli sesuatu, uang-uang tersebut kembali dirapikan. Padahal, kondisinya sudah kucel. Begitu pula kebiasaan masyarakat yang mengunyah pinang. Lembaran uang sering terkena noda cokelat kemerahan karena pinang yang tak bisa dihilangkan.
”Bahkan, di Wamena masih banyak masyarakat yang menyimpan uang di koteka. Jadi, uang dibikin bulat-bulat, lalu dimasukkan koteka,” ujarnya, lantas tergelak.
Koteka merupakan pakaian khas yang dikenakan masyarakat pribumi di pegunungan tengah Papua. Terbuat dari bobbe –begitu warga Mee di Kabupaten Paniai, Dogiay, dan Nabira menyebut–, yakni kulit buah seperti labu tua. Kegunaannya sangat unik, yakni menutup alat kelamin pria di Papua.
Meski demikian, Asromymengklaim, uang-uang lusuh sudah mulai berkurang. Sebab, sedikit demi sedikit masyarakat sudah mengenal bank.
”Bank di pulau terpencil seperti ini harus telaten untuk memberi edukasi cara menyimpan uang yang benar. Jadi, kalau setor ke bank, uangnya ditata rapi, tidak boleh sembarangan acak-acakan,” paparnya.
Melihat realitas itu, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas rupiah setiap tahun mengedarkan uang baru di pulau-pulau terluar di Indonesia. Biasanya, kegiatan tersebut dilaksanakan sebelum bulan puasa dan Lebaran.
Sebab, kebutuhan uang baru pada momen itu cenderung melonjak. Sekalian BI menaruh sebagian uang baru di bank untuk cadangan permintaan pada Natal maupun tahun baru.
Kali ini BI mengunjungi Waisai dalam rangkaian Ekspedisi Bhakti Kesra Nusantara (Bhakesra) IV 2014. Terbagi menjadi dua tim, tim I bertolak dari Jakarta dengan menggunakan KRI Banjarmasin (592) ke Pulau Buton dan Pulau Obi (Laiwui) di Pulau Halmahera, Kepulauan Maluku.
Lantas, tim II dengan kapal yang sama bertugas mengedarkan uang di Sorong dan Waisai. Tahun ini total modal awal pengedaran uang BI mencapai Rp 10 miliar atau lebih besar jika dibandingkan dengan tahun lalu di Pulau Mentawai yang sebesar Rp 6 miliar.
Mengangkut miliaran uang dari ibu kota dengan kapal tentu saja bukan tugas ringan. Uang-uang baru itu dimasukkan ke boks tebal yang terbuat dari aluminium. Lantas, tumpukan boks tersebut diletakkan di bungker khusus dalam kapal yang juga menjadi pendukung operasi amfibi itu.
Penjagaan anggota TNI yang membawa senjata di depan pintu bungker juga tak berhenti. Mereka selalu berjaga bergantian setiap hari. ”Senjata di kapal ini kami isi amunisi penuh. Menjaga kalau di tengah jalan ada pembajakan atau kejahatan lainnya,” ungkap salah seorang awak kapal di ruang nakhoda.
Manajer Departemen Pengedaran Uang BI sekaligus Ketua Tim II Handi Wijaya mengatakan, hasil penukaran uang tim I di Pulau Obi dan Pulau Buton di masyarakat serta perbankan mencapai Rp 3,7 miliar. Sementara Rp 4,87 miliar berhasil ditukarkan di Sorong oleh tim II. Untuk Waisai, modal awal penukaran uang BI sebesar Rp 250 juta. Sisanya, Rp 245 juta, digunakan untuk penukaran relawan Bhakesra dan awak kapal KRI Banjarmasin.
Handi menerangkan, paling banyak masyarakat menukarkan uang kecil seperti pecahan Rp 1.000, Rp 5.000, Rp 10.000, dan Rp 20.000. Kebutuhan penukaran uang itu sudah diasumsikan dari jumlah penduduk dan seberapa besar kegiatan ekonomi di pulau-pulau tersebut.
Di Waisai, BI berhasil menjaring uang-uang lusuh dan rusak sampai Rp 80 juta. Termasuk uang milik Nursiyah dan Wawan. Uang Nursiyah hanya dapat diganti Rp 44 ribu dari awalnya Rp 48 ribu. Sebab, dua pecahan Rp 2.000 milik Nursiyah sudah sobek dan tak ada pasangannya. BI hanya mengganti uang yang tingkat keutuhannya mencapai 2/3 atau 75 persen. ”Kebanyakan yang ditukar uang lusuh, rusak, dan tidak layak lagi. Tujuan kami menarik memang itu. Nanti di Jakarta, uang lusuh itu dihitung lagi, lalu dihancurkan,” terang Handi.
Bukan hanya uang rusak, masyarakat juga masih menyimpan banyak uang lama tak layak edar yang seharusnya sudah ditarik. Masyarakat masih menyimpan uang-uang tersebut karena takut tidak diterima oleh bank. Karena itu, mereka menyimpannya secara konvensional di rumah.
Selain itu, upaya menggerojok uang-uang baru tersebut, salah satunya, bertujuan menjaga eksistensi rupiah di pulau-pulau terluar Indonesia. Sebab, hingga saat ini masih ada kecenderungan pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan menggunakan uang negara tetangga untuk bertransaksi. Sayang, Handi enggan menyebutkan dengan jelas pulau yang menggunakan uang asing untuk bertransaksi.
”Yang jelas, kami tidak ingin kasus Sipadan dan Ligitan terjadi lagi. Transaksi penduduknya sejak lama menggunakan ringgit (mata uang Malaysia, Red). Eksistensi rupiah di pulau terpencil harus terus digalakkan. Karena rupiah itu identitas negara,” tegas dia. (*/c11/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menahan Lapar, Tidur di Trotoar Depan Istana
Redaktur : Tim Redaksi