jpnn.com, JAKARTA - Masalah cukup serius sempat dihadapi Pasukan penjaga perdamaian asal Indonesia yang bertugas di Sudan.
Mereka dituduh akan menyelundupkan senjata api dan amunisi. Akibatnya, kepulangan Satgas Formed Police Unit (FPU) VIII Polri itu tertunda sampai 40 hari.
BACA JUGA: Beginilah Derita Anggota Polri saat Tertahan di Sudan
ILHAM WANCOKO, Jakarta
Kebahagiaan personel Satgas FPU VIII segera bertemu anak-istri di tanah air berubah menjadi ketegangan di Bandara Al Fasher, Sudan, 21 Januari lalu.
BACA JUGA: Hamdalah, 139 Polisi Eks FPU di Sudan Tiba di Jakarta
Pada detik-detik terakhir menjelang terbang, langkah 139 anggota pasukan penjaga perdamaian yang sudah setahun bertugas di Darfur, Sudan, itu mendadak dihentikan.
Otoritas keamanan Sudan menuduh mereka berupaya menyelundupkan senjata api dan amunisi ke luar Sudan.
BACA JUGA: Sip, Satgas Polri di Sudan Bersih dari Senjata Ilegal
“Kami sama sekali tidak menyangka kejadian itu,’’ ujar Kepala Satgas FPU VIII AKBP John Huntal Sitanggang yang ditemui di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Rabu (15/3).
Dia menceritakan, saat itu para personel FPU VIII telah masuk bandara.
Satu per satu barang bawaan mereka diperiksa dengan X-ray. Koper-koper itu dikeluarkan dari kontainer yang disegel.
“Sebenarnya, di kamp, barang bawaan kami sudah diperiksa polisi militer, lalu disegel. Tapi dikeluarkan lagi karena akan diperiksa otoritas keamanan bandara Sudan. PBB sendiri tidak pernah menuduh kami menyelundupkan senjata,’’ jelasnya.
Nah, saat barang-barang bawaan personel itu diperiksa, petugas menemukan 10 koper yang tak jauh dari lokasi barang-barang milik personel FPU VIII.
Koper-koper tak jelas itu, oleh petugas bandara dan kepolisian Sudan, dipaksakan sebagai barang bawaan Satgas FPU VIII.
’’Padahal, kami tidak pernah tahu soal koper-koper tersebut,’’ tuturnya.
Sepuluh koper itu ternyata berisi senjata api berbagai jenis. Ada 29 pucuk senapan Kalashnikov, 4 senjata api, 6 senjata tipe GM3, 61 pistol berbagai jenis, serta sejumlah amunisi.
Koper-koper itu ditemukan beberapa meter dari tumpukan koper milik FPU VIII.
Koper-koper tak jelas tersebut menjadi pengadang kepulangan anggota FPU VIII yang sudah berada di depan pintu pesawat.
Mereka yang telah mempertaruhkan nyawa untuk menjadi polisi penjaga perdamaian di Sudan harus menghadapi jebakan kasus penyelundupan senjata tersebut.
’’Kami coba menjelaskan bahwa koper-koper itu bukan milik anggota kami. Tapi, mereka tidak percaya,’’ ujarnya.
Dari bentuk dan modelnya, koper-koper tersebut berbeda jauh dengan milik para anggota FPU VIII serta tidak ada tag name seperti koper milik satgas FPU.
”Namun, mereka tetap menuduh kami karena jarak koper-koper itu berdekatan dengan koper-koper anggota satgas FPU VIII.’’
Dari situlah, ketegangan terjadi antara petugas bandara dan anggota satgas FPU yang rasa rindunya bertemu anak-istri sudah di ubun-ubun.
Namun, apa daya, kepulangan mereka terpaksa tertunda. Pihak keamanan Sudan tidak membolehkan personel FPU meninggalkan Sudan sampai ada keputusan lebih lanjut.
’’Akhirnya, kami harus menunda kepulangan. Kami lalu ditempatkan di base camp Prancis,” paparnya.
Lantaran kejadian itu, sepuluh personel FPU VIII diperiksa kepolisian Sudan.
Tapi, upaya penyelidikan kasus tersebut kian sulit karena ternyata Bandara Al Fasher sama sekali tidak memiliki closed circuit television (CCTV).
Upaya untuk mencari barang bukti menjadi terhambat. ”Kalau ada CCTV, tentunya sangat mudah untuk mengetahui pemilik koper tersebut,” ujarnya.
Karena itulah, penyelidikan kasus tersebut menjadi begitu lama. Satgas FPU yang beranggota 139 orang harus tertahan selama 40 hari karena kasus itu.
Kondisi tersebut sangat berdampak pada berbagai rencana para personel Satgas FPU VIII. ”Banyak agenda personel yang gagal,” tuturnya.
Bukan hanya rencana biasa yang tertunda, tapi juga rencana superpenting dalam hidup, yakni menikah.
Ada empat personel yang terpaksa jadwal pernikahannya diundur karena situasi itu.
Empat anggota polisi tersebut adalah AKP Bayu Arswendo, Brigadir Putra Harahap, Brigadir Cahya, dan Bripka Okta Virly.
Danton Satgas FPU VIII AKP Bayu Arswendo menceritakan, pernikahan dirinya dengan calon istri rencananya dilangsungkan pada 4 Maret lalu.
Namun, karena Satgas VIII baru berangkat dari Sudan pada tanggal itu (4/3), pernikahan mereka harus ditunda pada 1 April.
”Mau bagaimana lagi, semua ini karena ada musibah saat menjalankan tugas negara,” tuturnya.
Saat gagal pulang pada 21 Januari 2017, Bayu tidak menyangka bahwa pernikahannya bakal diundur.
Dia juga khawatir karena ada rekannya, Putra Harahap, yang tanggal pernikahannya telah terlewati. ”Dia yang pertama kali gagal menikah sesuai jadwal,” ujarnya.
Mau tidak mau, Bayu harus menerima kenyataan itu. Dia juga memberikan pengertian kepada keluarga dan calon istrinya tentang kondisi tersebut.
”Calon istri saya selalu tanya kapan saya pulang. Tapi, saya tidak punya jawaban apa pun. Saya hanya bisa menenangkan dia,” tuturnya.
Hal yang dikhawatirkan mulai menghantui pikirannya. Lima hari sebelum 4 Maret, Bayu mendapat kabar bahwa dirinya baru bisa pulang bertepatan dengan tanggal pernikahannya.
Kondisi itu membuat Bayu menelan pil pahit karena harus mengundurkan jadwal pernikahannya pada 1 April. ”Mau tidak mau, ya...tapi saya yakin ada hikmah,” ujarnya.
Dalam satu sisi, Bayu memiliki secercah harapan bisa pulang ke Indonesia pada 4 Maret.
Namun, satu sisi lainnya, pada tanggal itu, dia harus mengikhlaskan momen yang seharusnya sangat spesial dalam hidupnya, yakni pernikahannya dengan pujaan hati. ”Rasanya campur aduk semua,” ungkapnya.
Yang berat adalah memberitahukan penundaan jadwal pernikahan itu kepada calon istri dan keluarganya.
Bayu masih ingat saat dirinya menghubungi calon istrinya dengan video call.
”Saat saya hubungi, dia sepertinya sudah merasakan sesuatu,” ujarnya.
Dengan suara bergetar, Bayu memberi tahu soal tanggal kepulangannya yang tertunda dan bersamaan dengan jadwal pernikahannya itu.
Calon istrinya hanya diam. Dia tidak menangis, tapi terlihat amat sedih.
”Saya juga menelepon orang tua calon saya. Mereka bisa menerimanya,” ujarnya.
Dengan mundurnya jadwal pernikahan, Bayu harus menanggung sejumlah kerugian.
Down payment (uang muka) gedung dan kateringnya mau tidak mau hangus; berbagai bunga hiasan pernikahan yang dipesan juga mulai layu. Total kerugiannya mencapai Rp 48 juta.
”Tapi, uang bukan hal penting. Yang penting, saya bisa kembali ke Indonesia dalam keadaan sehat walafiat. Saya minta doa kepada semua orang agar pernikahan saya pada 1 April bisa lancar,” ungkapnya dengan lirih.
Bukan hanya itu. Beberapa personel Satgas FPU VIII juga harus merelakan tidak bisa menghadiri pemakaman anggota keluarganya.
Kasatgas FPU VIII AKBP John Huntal Sitanggang mengungkapkan, ada beberapa anak buahnya yang kehilangan anggota keluarga.
”Mereka terpaksa tidak bisa menghadiri pemakaman keluarganya. Mau bagaimana lagi, padahal itu penting untuk keluarga,” paparnya.
Selama setahun bertugas, mereka juga mengalami banyak gangguan alam.
Misalnya, saban hari mereka menghadapi badai pasir. Mereka mesti mengantisipasinya dengan peralatan medis yang memadai.
Karena badai pasir itu, patroli harus dihentikan. Jarak pandang begitu pendek, personel harus menggunakan masker.
”Pernah saat patroli, kami harus berhenti hampir 30 menit karena muncul badai pasir,” cerita John Huntal Sitanggang.
Suhu ekstrem Sudan yang bisa mencapai 40–48 derajat Celsius membuat personel juga harus menahan derita.
John mengungkapkan, kebanyakan anggota pernah mengalami dehidrasi hingga bibir dan hidungnya kering berdarah.
”Kami kerap kali lupa haus, tapi dehidrasi sudah menyerang terlebih dahulu. Itulah Sudan,” tuturnya.
Yang paling banyak menyedot perhatian Satgas FPU VIII adalah kondisi keamanan Sudan.
Menurut John, karena perang saudara, masyarakat Sudan menjadi menderita. Kelompok bersenjata ada di mana-mana.
Orang membawa senjata berat semacam RPG berseliweran di jalan-jalan.
”Di pojokan pasar itu terlihat senjata berat disiapkan. Salah langkah sedikit tentu berakibat fatal,” jelasnya.
Tingkat kejahatan juga sangat ekstrem di Sudan. Terutama perampokan.
Bahkan, PBB telah mengeluarkan standard operating procedure (SOP) untuk menangani kasus perampokan di negara miskin itu.
”Kalau kita melawan, mereka bisa melakukan hal yang tidak masuk akal,” ungkapnya.
Setelah menunggu selama 40 hari, Satgas FPU VIII akhirnya dinyatakan tidak terlibat penyelundupan senjata setelah tim bantuan hukum Polri, PBB, dan otoritas Sudan melakukan joint investigation.
Keberhasilan tim bantuan hukum Polri merupakan kerja sama antara Kementerian Luar Negeri dan Polri dalam melakukan lobi.
Satgas FPU VIII pulang ke tanah air pada 4 Maret dan tiba di Indonesia 5 Maret lalu.
’’Puji Tuhan, kami tiba dengan selamat,’’ tutur John. (*/c5/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Polri Belum Bisa Pulangkan 139 Anggotanya dari Sudan
Redaktur : Tim Redaksi