Pernyataan Sikap KNPA atas Kerusuhan di Desa Sukamulya

Minggu, 20 November 2016 – 19:04 WIB
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Bandung melakukan aksi di depan Markas Besar Polda Jawa Barat, Jalan Soekarno-Hatta, Kota Bandung, Jumat (18/11). Mereka dalam aksinya menuntut agar polisi tidak ikut campur dalam pembebasan lahan untuk pembangunan Bandara Internasional Kertajati, Majalengka, serta melepaskan enam orang petani yang ditahan karena mempertahankan lahan sawah mereka. Foto: Fajri Achmad NF / Bandung Ekspres

jpnn.com - JAKARTA – Sejumlah aktivis menyesalkan terjadinya kerusuhan yang terjadi di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.

Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dalam keterangan tertulisnya yang diterima JPNN, Minggu (20/11), menyebut sejak Kamis (17/11/2016) kondisi di Desa Sukamulya, mencekam.

BACA JUGA: Pak Tedjo Bilang, Rakyat Sah jika Harus Menduduki Gedung DPR/MPR

“Penggusuran atas nama pembangunan demi kepentingan umum terus dilakukan dengan pendekatan represif,” ujar Iwan Nurdin, Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Dijelaskan, desa tersebut menjadi benteng penolakan terakhir, setelah 10 desa lainnya mengalami  penggusuran untuk pembangunan Bandara Kertajati, atau kini dikenal proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB).

BACA JUGA: Siapkan Agenda Demo 2 Desember, Rachmawati Kerja Sama dengan FPI

Ribuan warga Sukamulya melakukan penolakan terhadap proses pengukuran lahan BIJB  yang melibatkan 1.200 personel aparat gabungan TNI, Polri dan Satpol PP.

“Tembakan gas air mata, pemadaman listrik, sweeping dan pendirian tenda aparat di tengah-tengah pemukiman telah menciptakan teror bagi warga,” terangnya.

BACA JUGA: Kata Ara, Jokowi Juga Bisa Kumpulkan 1 Juta Massa di Monas

Proses pengukuran yang berakhir ricuh, berujung pada penangkapan 6 orang warga dan belasan warga lainnya luka-luka, serta menyisakan ketakutan dan trauma bagi warga, terutama perempuan dan anak-anak.

Terhadap peristiwa ini, KNPA telah melayangkan surat protes kepada Presiden Jokowi, yang pada pokoknya menuntut Presiden menghentikan tindakan represif, kriminalisasi oleh aparat keamanan kepada warga Desa Sukamulya dan memerintahkan penarikan aparat keamanan dari lokasi kejadian serta membebaskan petani yang masih ditahan.

Di waktu yang hampir bersamaan (18/11/16), aparat keamanan  yang terdiri dari POLSEK, POLRES LANGKAT, BRIMOB POLDA, TNI, PAMSWAKARSA berjumlah lebih kurang 1500 orang memaksa masuk ke Desa Mekarjaya Kec. Wampu Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang berkonflik dengan Langkat Nusantara Kepong (LNK) yang mengelola lahan PTPN II.

Sebanyak 24 alat berat mereka persiapkan untuk menghancurkan rumah dan juga tanaman yang ada di lahan milik petani Desa Mekar Jaya.  

Hingga saat ini, lanjut Iwan, Desa Mekarjaya di isolasi aparat. Penangkapan terhadap petani Mekarjaya yang melakukan perlawanan terhadap upaya perampasan tanah yang menjadi sumber kehidupannya, masih berlangsung dan jumlahnya sedang di identifikasi.

“Peristiwa Sukamulya dan Mekar Jaya, merupakan salah satu contoh buruk proses pembangunan infrastruktur dan ketidakberpihakan Negara terhadap petani di Indonesia sekaligus cermin kemunduran demokrasi,” cetusnya.

Pengerahan aparat keamanan, intimidasi, kriminalisasi dan teror seolah menjadi pola dalam upaya menggusur lahan warga dengan mengatasnamakan pembangunan dan investasi.

Pola semacam itu juga terjadi pada pembangunan Waduk Jatigede, Reklamasi Jakarta, Reklamasi Bali, Pabrik Semen Kendeng, real estate Karawang dll.

“Terkait berbagai peristiwa terkini di tanah air, kami (KNPA) selain mengecam tindakan aparat kemanan, kami akan terus melakukan pemantauan dan protes terhadap Presiden RI, sebab melalui kebijakannya, puluhan ribu rakyat menderita akibat kehilangan lahan pertanian dan sumber penghidupan,” papar Iwan.

Menilik data KPA menyebutkan bahwa dalam dua tahun terakhir (2014-2015) telah terjadi serangkaian kekerasan dalam konflik agraria; 534 orang ditahan, 234 dianiaya, 56 te rtembak dan 24 orang gugur dalam mempertahankan hak atas tanah mereka.

Sementara data SPI menyebutkan bahwa selain peristiwa di Desa Sukamulya, selama tahun 2016 hingga November, telah terjadi tujuh konflik agraria, upaya penggusuran wilayah pertanian rakyat yang disertai tindak kekerasan dan kriminalisasi atas 8306,66 Ha lahan.

Tujuh peristiwa tersebut terjadi di Kabupaten Serdang Bedagai Sumut, Tebo Jambi, Muaro Jambi, Lebak Banten, Sukabumi Jabar, Kendal Jateng dan yang teranyar terjadi Langkat Sumut pada 18-19 November 2016.

Dari tujuh peristiwa ini tercatat 13 orang mengalami tindak kekerasan, 11 orang mengalami penangkapan, dan 8 orang mengalami kriminalisasi.

Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agaria (KPA) menyatakan bahwa, tidak dijalankankanya proses sosialisasi dan musyawarah mengenai rencana pembangunan bandara di Kertajati oleh pemerintah provinsi, kabupaten dan pihak PT. BIJB kepada warga Sukamulya jelas telah melanggar prosedur dan tahapan yang diatur dalam UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Dewi menegaskan, peristiwa 17 November merupakan penistaan terhadap kemanusiaan.

“Secara sewenang-wenang telah terjadi pelenyapan desa-desa yang menjadi obyek penetapan lokasi bandara,” ucapnya.

Meski BIJB ditetapkan segabai proyek strategis nasional, lanjutnya, Presiden dan jajarannya harus lah selaras dan konsisten dengan janji politiknya serta agenda prioritas nasional untuk menjalankan Reforma Agraria, yakni melindungi dan memperkuat hak-hak petani melalui redistribusi 9 (sembilan) juta hektar tanah serta menyelesaikan konflik agraria secara berkeadilan.   

Nurhidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menyatakan bahwa penggusuran pemukiman dan  wilayah pertanian rakyat di 11 desa di Majalengka akan menambah panjang daftar alihfungsi lahan pertanian dan wilayah kelola rakyat di Indonesia.

Ini tentu bertolak belakang dengan visi Presiden Jokowi dalam mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia.

“Pemerintah  harusnya mencukupkan lahan bagi petani bukan malah menggusur dan mengalihfungsi lahan pertanian, ini tentu juga tidak sejalan dengan agenda reforma Agraria yang dicanangkan Presiden.”

Agus Ruli Ardiyansah, Sekum DPP SPI menegaskan bahwa penangkapan, kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani di berbagai daerah di Indonesia telah melanggar Hak asasi petani. (rl/sam/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapolri Sebut Ulama Punya Peran Penting Menjaga Persatuan NKRI


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler