jpnn.com - JAKARTA - Pakar hukum tata negara, Irman Putrasidin mengatakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) merupakan hak subjektif Presiden RI. Kalau dalam proses pembuatan sebuah Perpu masih melibatkan DPR, menurut Irman, itu bukan Perppu lagi namanya, tapi undang-undang.
Hal tersebut dikatakan Irman Putrasidin, menyikapi pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang akan mengeluarkan Perpu untuk Mahkamah Konstitusi menyusul ditangkapnya Ketua Mahkamah Konstiusi (MK), Akil Mochtar dalam kasus suap melalui operasi tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
BACA JUGA: Usut Pelanggaran Kode Etik, Mahfud Koordinasi Dengan KPK
"Perpu itu instrumen subjektif Presiden. Kalau Perpu tidak disetujui DPR, batal Perpu itu. Kalau dimintakan DPR menyusunnya, itu bukan Perpu lagi namanya, tapi undang-undang," kata Irman Putrasidin, dalam dialog Empat Pilar bertema 'Runtuhnya Benteng MK', di gedung Nusantara IV, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (7/10).
Kalau Presiden memaksakan diri menerbitkan Perpu lanjut Irman, ini bisa dijadikan pintu masuk untuk mengimpeachment Presiden SBY. "Sebetulnya, di atas MK itu ada MPR yang bisa menghitam-putihkan Putusan MK. Tapi untuk mengumpulkan anggota MPR ini bukan main sulitnya," ujar dia.
BACA JUGA: Mendagri Usulkan Sengketa Pilkada Tak Perlu ke MK
Ditegaskannya, Perpu tidak bisa mengkritisi Putusan MK. Karena itu, DPR tidak boleh memberikan bantuan pada Presiden SBY untuk sebuah Perpu. Kalau sebuah aturan main dibuat bersama DPR, itu namanya undang-undang.
Diingatkannya, pagi ini Perpu itu diumumkan SBY, maka siang harinya Perpu tersebut bisa dibawa ke MK. "Kalau MK manyatakan proses pembuatan Perpu itu menyalahi UUD 45, maka Presiden RI dinyatakan melanggar UUD 45 dan besoknya MPR boleh bersidang dengan agenda tunggal memberhentikan SBY sebagai Presiden RI," ujar Irman Putrasidin. (fas/jpnn)
BACA JUGA: Posisi Ruhut Digantikan Pieter Zulkifli
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menkes Dinilai Suarakan Kepentingan Asing
Redaktur : Tim Redaksi