Menkes Dinilai Suarakan Kepentingan Asing

Senin, 07 Oktober 2013 – 16:36 WIB

jpnn.com - JAKARTA--Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPRTMM-SPSI) menilai sikap keras kepala Menteri Kesehatan dengan mengirim surat kepada Presiden agar segera meneken dan memberlakukan ratifikasi FCTC sebagai tindakan yang tidak memperhatikan aspirasi dan masukan berbagai kelompok masyarakat.

Ketua Umum FSPRTMM-SPSI Mukhyir Hasan Hasibuan, sangat menyesalkan sikap Menkes tersebut. Padahal, beberapa waktu lalu sudah dilakukan rapat bersama, di mana semua kementerian masih menolak ratifikasi FCTC seperti Kementerian Perindustrian dan Kementerian Tenaga Kerja Kerja.

BACA JUGA: Luthfi Dapat Fee Miliaran Jadi Penjamin Proyek di Kementan

"Sikap Menkes tersebut jelas sangat kami sesalkan, semua Kementerian sudah menolak ratifikasi itu," tegas Mukhyir dalam keterangan tertulisnya, Senin (7/10).

Dia menjelaskan, saat ini sudah ada Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2014 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang sudah jelas mengatur industri rokok sekaligus juga mengupdate semua materi yang ada di FCTC. Alhasil, tidak perlu lagi mengikuti aturan luar dalam hal ini FCTC.

BACA JUGA: Penunjukan Patrialis Sebagai Hakim MK Dinilai Tidak Sah

"Sikap Menkes ini tidak memperhatikan suara rakyat, para pekerja. Kami sangat berkeberatan dengan FCTC," tegasnya.

Mukhyir tak memungkiri memang sudah mengirimkan surat kepada Presiden SBY terkait dampak buruk jika memberlakukan SCTC bagi pekerja terutama di industri rokok. Dia mengaku, sudah juga menerima surat sanggahan Menkes yang disampaikan ke SBY sekaligus ditembuskan ke  FSPRTMM-SPSI.

BACA JUGA: Gamawan Takut Pemerintahan Daerah Terganggu

Menurutnya, jawaban Menkes yang diberikan kepada Presiden sangat tidak tepat. Misal disebutkan hanya 300 ribu pekerja yang berkaitan dengan industri rokok. Menkes seakan tidak menghitung pekerja lain misal pekerja di pengepakan rokok, yang berkaitan dengan kemasan karton, distribusi rokok, iklan dan lain-lain.

"Itu tidak pernah diperhitungkan Menkes," tegasnya. Padahal dua pabrik rokok besar saja pekerjanya sudah hampir mendekati 200 ribu orang. Itu belum ditambah pabrik rokok skala kecil di sejumlah daerah.

Dia menegaskan dalam waktu dekat akan mengirimkan surat sanggahan ke Presiden dengan pesan utama agar tidak menandatangani ratifikasi FCTC. Dia juga berharap Presiden tahu bahwa industri rokok nasional tidak boleh diatur oleh kebijakan luar negeri. Pasalnya Indonesia merupakan satu-satunya negara dengan pabrik rokok kretek terbesar. Dari sisi konsumsi, rokok kretek mendominasi hingga 93 persen sementara rokok putih hanya tujuh persen.

"Rokok kretek dan juga pabrik kretek terbesar di Indonesia. Mereka ingin menghancurkan pabrik rokok kretek," tandasnya.

Menurut Mukhyir, sikap ngotot Menkes ini seakan membuktikan kuatnya kepentingan asing dalam kebijakan FCTC. Meski mengacu pada WHO namun sebenarnya lebih kepada persaingan kepentingan ekonomi.

"Pemerintah harus sadar 10 besar industri yang membantu devisa sangat besar pada negara salah satunya industri rokok. Kami akan bertemu membahas sikap Menkes terbaru ini dengan petani cengkeh dan tembakau," tandasnya. (esy/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Klaim Uang Rp 1 Miliar Jatah Susi, Bukan untuk Akil


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler