Persekusi dan Kebebasan Berekspresi dengan Ujaran Benci

Oleh: Mohammad Sobirin

Jumat, 09 Juni 2017 – 01:56 WIB
Mohammad Sobirin. Foto Radar Semarang/JPNN.com

jpnn.com, SEMARANG - Fenomena persekusi saat ini menjadi headline diberbagai media. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat, “perburuan” semacam ini mengalami tren meningkat sejak 27 Januari hingga 31 Mei 2017.

Tindakan intimidatif ini makin kesini makin ramai dilakukan sekelompok warga terhadap orang yang dianggap telah menghina atau menista pemimpin dan kelompoknya.

BACA JUGA: Prihatin Isu Persekusi, Kugapai Deklarasikan Anti-Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan

Kekecewaan tersebut bergerak menjelma menjadi sebuah tindakan main hukum sendiri tatkala tersulut oleh ujaran seorang bocah berusia 15 tahun yang dirasa menista tokoh panutan mereka.

Persekusi yang dialami oleh seorang dokter perempuan di Solok Sumatera Barat lantaran menggunggah pernyataan bernada miring terhadap pimpinan ormas tertentu di akun facebooknya adalah fakta tindakan memburu dan mengintimidasi yang telah menjadi perbincangan nasional berikutnya.

BACA JUGA: Persekusi Marak Akibat Hate Speech Masif di Medsos

Kebebasan berekspresi merupakan bagian terpenting Hak Asasi Manusia. Keberadaannya sangat strategis dalam menompang jalan dan bekerjanya demokrasi.

Sulit membayangkan sistem demokrasi bisa bekerja tanpa adanya kebebasan menyatakan pendapat, sikap, dan berekspresi. Konstitusi kita; UUD 1945, Amandemen ke II, secara terang menjamin kebebasan berekspresi. Pasal 28E (ayat 2) menyatakan,

BACA JUGA: Jadi Tersangka Persekusi, Dua Pembela Habib Rizieq Diburu Polisi

“setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”

Pada ayat berikutnya (3) ditegaskan kembali bahwa, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”

Perlindungan konstitusional ini diterangkan lebih jauh dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Disebutkan secara tegas dan spesifik pada Pasal 23 (ayat 2) UU tersebut, bahwa,

“setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak eletronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”

Kebebasan berekspresi juga telah memperoleh pengakuan secara universal. Pengakuan tersebut tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 19, dan Pasal 19 Ayat 2 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 19 menyebutkan,

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide melalui media, tanpa memandang batas-batas negara”.

Sedangkan Pasal 19 Ayat 2 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik menegaskan bahwa,

“Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan, baik secara lisan, tertulis atau bentuk cetakan, karya seni, atau media lain sesuai dengan pilihannya”.

Agama Islam sebagaimana konstitusi negara kita dan kovenan Hak Asasi Manusia di atas, memberikan kebebasan bagi pemeluknya untuk berekspresi selama ekspresi (ujaran) itu tidak berupa penistaan, fitnah, penghinaan atau pernyataan yang menimbulkan kerusakan, permusuhan dan penghilangan nyawa.

Kebebasan berekspresi mengharuskan perwujudannya secara bertanggungjawab. Rasa bertanggung jawab ini melekat pada kebebasan itu sendiri.

“Ekspresikanlah kebenaran itu”, begitu kira-kira sabda Nabi panutan umat Islam.

Namun pada kesempatan yang lain, beliau memberikan penegasan mengenai tanggung jawab dalam berujar,

“Barang siapa (yang mendakwakan dirinya) beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah dia berkata (berekspresi) yang baik dan atau dengan cara baik, jika tidak bisa maka hendaklah diam tidak berujar”. “Baik” dalam hadis ini bermakna universal karena menggunakan diksi “khairan”.

Artinya harus bisa diterima oleh semua pihak, termasuk keniscayaan sejalan dengan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Hak Asasi Manusia Universal. Karena dalam kebebasan berekspresi terdapat hak orang lain untuk tidak dinista dengan berbagai bentuk penistaan.

Islam mendorong kebebasan berekspresi lewat ujaran yang benar sekaligus baik (Qaulan Sadida), arif nan bijak (bil hikmah), dan benar disertai rasa kasih sayang (bil haqqi wal marhamah), bukan sebaliknya.

Dengan demikian, kebebasan berekspresi bagi seorang yang beragama akan mendorongnya untuk melahirkan ekspresi-ekspresi atau ujaran-ujaran yang santun.

Kebebasan berekspresi tidak lagi tampak sebagai kebencian berekspresi, kemarahan berekspresi, bahkan kebengisan berekspresi, namun tampil sebagai kesantunan berekspresi.

Kesantunan berekspresi inilah wajah beragama yang otentik diperagakan manusia pemilik akhlak terbaik (Muhammad SAW).

Persoalan ujaran kebencian dan persekusi di tanah air ini tidak akan pernah mengemuka dan akan purna selama kita bersama memperagakan cara beragama dengan kesantunan berekspresi. (*/smu)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Cerita Putri Gus Dur tentang Bocah Korban Persekusi Anggota FPI


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler