jpnn.com, JAKARTA - Harga bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dan premium berpeluang naik lagi.
PT Pertamina (Persero) berharap ada kenaikan harga jual solar dan premium pada Juli mendatang.
BACA JUGA: Laba Bersih Pertamina Anjlok 25 Persen
BUMN migas tersebut tak ingin lagi menanggung kerugian karena harga BBM yang dijual berada di bawah harga pasar.
Terutama di tengah tren kenaikan harga minyak mentah dunia.
BACA JUGA: KPK Diminta Ambil Alih Korupsi Pengadaan Kapal Pertamina
”Tentu kalau harga minyak menunjukkan tren kenaikan, kami minta pemerintah menyesuaikan harga BBM penugasan. Penyesuaian itu harus sesuai dengan harga keekonomian,” ujar Direktur Pemasaran Pertamina Muchamad Iskandar.
Harga premium saat ini berada di level Rp 6.450 per liter dan solar Rp 5.150 per liter.
BACA JUGA: Pertalite Makin Populer di Batam
Harga tersebut masih bisa ditoleransi apabila harga minyak dunia berada di level USD 40 per barel.
Namun, pada kenyataannya, kini harga minyak dunia berada di kisaran USD 51 per barel.
Dengan kondisi itu, Pertamina harus menambal Rp 450 per liter pada penjualan premium dan Rp 1.150 per liter pada solar.
Kondisi tersebut dialami perseroan sejak kisaran tahun lalu. Pemerintah sudah tidak menyubsidi premium.
Subsidi solar pun hanya diberikan secara terbatas. Namun, bersama minyak tanah, premium dan solar merupakan jenis BBM yang harganya diatur pemerintah.
Iskandar melanjutkan, harga minyak juga masih berpeluang naik karena adanya Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) untuk mengurangi produksi minyak.
”Ya kalau harga minyak meningkat terus, kami minta penyesuaian BBM. Tapi, kalau harga minyak tidak jadi turun, ya tidak usah ada penyesuaian. Harga minyak ini kan memang tidak bisa diprediksi,” katanya.
Pertamina berharap penyesuaian harga BBM bisa dilakukan Juli mendatang. Harga solar dan premium saat ini belum berubah sejak April 2016.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai harapan Pertamina itu masih wajar.
”Kalau dilihat dari sisi perusahaan, sebetulnya perlu ada penyesuaian harga. Karena memang harga jual sekarang tidak berubah sejak beberapa bulan belakangan. Padahal, harga minyak masih tinggi,” ujarnya kepada Jawa Pos, Kamis (25/5).
Namun, Komaidi menggarisbawahi, langkah kenaikan merupakan kebijakan yang dilematis.
Sebab, jika ada potensi penurunan harga minyak, tapi harga premium atau solar telanjur naik, hal itu pasti menjadi tanda tanya besar bagi publik.
”Tapi, sebetulnya pemerintah juga tidak konsisten. Kalau memang tidak disubsidi ya diserahkan pada mekanisme harga pasar,” terangnya.
Periode penyesuaian yang diharapkan terjadi pada Juli mendatang juga dinilai sebagai momen yang lumrah.
Sebab, berdasar beleid yang berlaku, penyesuaian harga dilakukan tiga bulan sekali.
”Tapi, review-nya apakah naik, turun, atau tetap, belum bisa diprediksi juga kan,” jelasnya.
Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman menuturkan, dari formula yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), selisih harga jual saat ini lebih rendah daripada keekonomian.
”Melihat selisihnya, premium Rp 450 sampai Rp 500 di bawah formula dan solar Rp 1.150 per liter di bawah formula,” katanya.
Dengan demikian, untuk mengisi selisih harga keekonomian dengan harga jual yang tidak naik, Pertamina melakukan subsidi silang dari pendapatan bisnis lain.
Otomatis, langkah itu membuat keuntungan perusahaan migas pelat merah tersebut tergerus pada kuartal pertama 2017. (dee/c21/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wujudkan BBM Satu Harga, Pertamina Butuh Rp 2 T per Tahun
Redaktur & Reporter : Ragil