Pertemuan ADB Dinilai Bukan Solusi Krisis

Senin, 27 April 2009 – 19:33 WIB
JAKARTA – Pertemuan Asian Development Bank ke-42 di Bali pada tanggal 2 hingga 5 Mei 2009 mendatang tidak akan membawa kemaslahatan ekonomi dan sosial bagi Indonesia“Yang akan terjadi justru sebaliknya, akan melahirkan proyek-proyek utang yang pada akhirnya membuat kondisi lebih buruk lagi.”

Prediksi tersebut mengemuka dalam diskusi yang digelar oleh forum Asian People Movement Againts ADB yang terdiri dari Koalisi Anti Utang, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Serikat Petani Indonesia, Solidaritas Perempuan, Koalisi rakyat untuk Keadilan Perikanan, Jaringan Advokasi Tambang, LIMAS Bali, Walhi Bali, PBHI Bali, di kantor KAU, kawasan Mampang Jakarta, Senin (27/4).

“Kebijakan liberalisasi sektor energi menjadi salah satu contoh skandal terbesar utang ADB di Indonesia penyebab krisis

BACA JUGA: Nego Harga Saham Newmont Masih Alot

Bersama Bank Dunia dan USAID, ADB memberikan pinjaman untuk melakukan 'reformasi sektor energi' dengan mensponsori pembuatan UU Migas dan juga ikut menyediakan analisis kebijakan harga energi dan penghapusan subsidi serta menyediakan analisis teknis tentang dampak ekonomi makro dan mikro atas kebijakan energi tersebut
Akibatnya, di negara yang kaya sumber energi ini, rakyat berulang kali mengalami kelangkaan energi karena kebijakan ekspor,” kata Ketua Koalisi Anti Utang, Dani Setiawan.

Soal ladang gas Tangguh misalnya, sebagai salah satu ladang gas terbesar di Indonesia, yang juga didanai oleh Asian Development Bank (ADB) US$ 350 Juta ini telah menyebabkan 110 keluarga atau 511 penduduk terusir dari daerahnya; Tanah Merah, dan membuat mereka harus berpindah sejauh 3.5 km dari desa mereka, imbuh Dani Setiawan.

Hal serupa, lanjut dia, di sektor kelautan dan perikanan yang telah dimulai sejak tahun 1970an, menjadikan sedikitnya 5 juta hektar laut Indonesia di 29 kawasan konservasi laut, berada di luar manajemen nelayan tradisional

BACA JUGA: Menneg BUMN Genjot Restrukturisasi Tujuh Sektor BUMN

Pertambakan tradisional telah distimulasi menjadi industri-industri pertambakan udang yang melayani 90 persen kebutuhan konsumsi udang dunia.

“Hasilnya, 4,2 juta hektar hutang mangrove pada tahun 1982 telah menyusut menjadi 1,9 juta hektar pada tahun 2008
Bahkan sedikitnya Rp648 milyar harus menjadi beban utang negara setiap tahunnya, hingga tahun 2013 mendatang,” kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Berry Nahdian Forqan.

Menurut Berry, pinjaman ADB untuk sektor pertanian tidak menjadikan petani semakin membaik

BACA JUGA: Beli Saham Newmont, Tiga BUMN Andalkan Pinjaman Bank

Bahkan sebaliknya, proyek itu menjadikan petani semakin kesulitan dalam memproduksi dan mendistribusikan produksinyaProyek ADB di sektor energi dan program perubahan iklim juga telah berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan eksploitasi SDA secara besar-besaran.

“Selama 42 tahun rakyat telah menyaksikan dukungan ADB bagi sektor swasta dan nasihatnya tentang kebijakan pasar bebas telah menyebabkan dampak yang buruk pada pelayanan sosial, kehidupan, kedaulatan pangan serta lingkunganBersama-sama dengan Bank Dunia, ADB telah menjadi penggerak utama privatisasi layanan sosial di kawasan Asia PasifikADB terlibat dalam praktek privatisasi air di Indonesia, India, Pakistan, Korea Selatan, Nepal dan SrilankaADB Juga mendanai privatisasi listrik dalam proyeknya di Filipina, Bangladesh, Pakistan, Thailand, Indonesia, India dan banyak tempat lainnya,” ujar Berry.

Menyikapi hal tersebut diatas,  forum Asian People Movement Againts ADB mendesak pertanggungjawaban ADB atas penyaluran proyek utang yang telah melahirkan kerusakan sosial dan ekonomi bagi rakyat dan bangsa Indonesia serta Pemerintah Indonesia sebaiknya menyatakan keluar dari keanggotaan ADB dan menggalang dukungan dari negara-negara lainnya.

Mendorong inisiatif pembentukan alternatif lembaga keuangan baru di tingkat regional yang mencerminkan keadilan dan keterlibatan dari semua negara di kawasan Asia dalam membuat keputusan“Institusi Keuangan baru haruslah melayani kebutuhan rakyat bukan korporasi, dengan pengelolaan yang akuntabel dan transparan kepada semua Negara dan masyarakat sipil guna membiayai kebutuhan sosial dan pemerataan bukan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi,” kata Berry Nahdian Forqan(fas/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pertamina-Telkom, Laba Terbesar


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler